Si Batik Teyeng Firman Asyari Ingin Punya Saingan
Pria yang mulai belajar membatik pada tahun 2012 itu mendengar teman-temannya kerepotan mereka, ketika batik yang dijemur terkena noda kawat yang sudah berkarat alias teyeng.
Noda teyeng tersebut sulit sekali dihilangkan. "Mereka kecewa. Tetapi saya ambil kesimpulan, kalau sulit dihilangkan berarti awet, bisa dijadikan motif batik," tuturnya, Senin (1/10/2018).
Untuk membuktikan teorinya, warga Manukan itu menaburi kain mori dengan serbuk besi, dia basahi dengan air, lalu ditaburi garam dan didiamkan selama dua hari.
Ketika dibuka, Firman terkejut karena hasilnya bagus sekali. Bercak-bercak teyeng tersebut tampak unik dan menarik. Dia yang awalnya berkarya di bidang batik lukis mengombinasikan batik lukis dengan batik teyeng.
Ayah tiga anak itu lalu memperkenalkan brand Batik Teyeng miliknya Oktober 2013 lalu di House of Sampoerna, Surabaya. Namanya teknik baru, sulit memperkenalkan ke masyarakat.
"Harus edukasi, orang kan tidak tahu batik teyeng. Kata 'teyeng' saja tidak banyak yang tahu artinya, Jawa Barat tahunya karat," ujarnya.
Firman merasa senang bisa mengangkat sebuah seni yang tak hanya eksentrik, tetapi membawa makna baik. Dia mengatakan, sesuatu yang berkarat umumnya dianggap buruk.
Teyeng difilosofikan sebagai dosa-dosa manusia, yang supaya kembali baik, ia transformasi menjadi karya seni yang indah. Supaya baik, harus berubah menjadi indah. Jadilah, tagline 'when rusty becomes beauty'.
Demi membagi keindahan batik teyeng dengan masyarakat, Firman menggandeng beberapa desainer untuk mempopulerkan karyanya. Dua di antaranya adalah Dibya Hodi dan Embran Nawawi.
Tak tanggung-tanggung, para desainer ini memesan batik teyeng untuk dipamerkan di luar negeri. Kalau ke luar negeri, dulu dibawa sama Sampoerna ke Swiss sebagai suvenir syal. Lalu dibawa desainer Dibya sampai Myanmar, dan Embran membawa ke Vietnam.
Anggota E-UKM ini menyebut meski memasarkan lewat desainer, ia tetap mengambil segmen bawah, karena jika berbicara soal batik, segmen atas dikuasai oleh batik tulis halus.
Sedangkan Batik Teyeng menurutnya tidak bisa dijadikan batik tulis halus, karena antara motif batik tulis dan teyeng menjadi rancu, tidak jelas mana yang ditonjolkan.
Firman menjual per lembar batik teyengnya dengan ukuran dua 1/4 meter seharga Rp 150.000-Rp 300.000, tergantung tingkat kerumitannya. Dia berharap, ada orang lain yang mau menekuni batik teyeng.
Tak masalah jika ada orang yang mau menyainginya. "Saya ini kan sudah tua, anak-anak saya sudah punya profesi masing-masing. Kalau jadi ikon batik teyeng Surabaya ya saya ingin, tetapi akan lebih baik kalau ada yang melanjutkan," katanya. (del surya)