Cerita Horor Santet Sewu Dino (7) : Ancaman Dela
Terjadi pergulatan hebat antara Sri dan Dela. Sri hanya berusaha melepaskan cekikan Dela yang kuat sekali, membuatnya hampir meregang nyawa. "Sopo koen ndok?" (siapa kamu nak?), tanya Dela, suaranya berat. Nyaris menyerupai suara seorang wanita tua. "Nang ndi iki ndok?" (di mana ini nak). Sri mencoba melepaskan cengkeraman kuat itu. Dela terus menyeringai, air liurnya menetes.
Matanya putih, ia tersenyum. "Jawab nek ditakoni ndok" (jawab kalau di tanya!!). "Sinten njenengan" (Siapa anda), tanya Sri terbata-bata, nafasnya mulai sesak. Dela tertawa semakin keras, membuat Sri menangis ketakutan, sebelum, Erna masuk kamar karena keributan itu. Ia bingung, melihat Dela terbangun. "Onok opo iki Sri, kok Dela kok Dela" (ada apa ini Sri, kenapa Dela, kenapa Dela) bingung.
Dela menyeringai melihat Erna dan akhirnya melepaskan cekikan itu. Ia melompat ke atas ranjang, merangkak kemudian tertawa kegirangan, Dela berteriak, "Cah kliwon kabeh." (ternyata anak kelahiran kliwon semua). Dela masih tertawa, Sri beringsut mundur, sementara Erna masih bingung dan shock, melihat wajah Dela yang semengerikan itu. Dela terus melihat Sri dan Erna bergantian. "Percuma, sewu dinone arek iki bakal entek" (percuma, seribu harinya, anak ini akan segera habis).
"Koen kabeh mek dadi tumbal gawe cah iki," (kalian hanya jadi tumbal untuk anak ini). Dela tertawa terus menerus, sebelum Sri melompat dan mencengkeram Dela, ia mengguyur Dela dengan air kembang itu. Dela berteriak kesakitan. "Koen lapo!! jupukno tali ireng iku," (kamu ngapain!! ambilkan tali hitam itu) teriak Sri. Erna yang sempat kebingungan, bergegas mengambil tali itu, Sri mengikatnya tepat di leher Dela.
"Onok opo iki Sri" (ada apa ini Sri). Erna ikut menahan tubuh Dela yg meronta sebelum akhirnya Dela menjadi tenang, dan kemudian tertidur kembali. Sri baru mengikat tali itu dengan benar. Ia mengangkat Dela kembali ke ranjangnya, menutupnya dengan keranda bambu kuning. Wajah Erna dan Sri masih tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Erna mulai menangis. "Aku kepingin muleh" (aku ingin pulang).
Sri tidak berkomentar, ia sadar, sekarang, juga ingin pulang. Hanya saja bila bukan karena sudah terikat dan pasti ada risiko yang sudah menunggu bila mereka pulang, lantas, apa yangg sebenarnya disembunyikan oleh si Mbah. Sri menceritakan semuanya kepada Erna. Ia lalai menjalankan tugasnya, karena panik, ia membasuh Dela tanpa mengikat tali di kaki dan tanganya terlebih dulu.
Gara-gara itu, Sri menyadari, santet macam apa, yang memasukkan iblis sekuat itu hanya untuk menghabisi nyawa. Sri jadi ingat cerita bapak, santet bukan hal baru tapi untuk melaksanakan santet butuh kebencian yang melebihi akal. Bila benar itu, kebencian macam apa yang dapat dan setega ini dilakukan oleh orang, hanya untuk mengambil nyawa dari anak yang tidak tahu apa-apa.
Di balik semua itu, ini kali pertama Sri lihat, seperti ada teka-teki, seakan ada yang ditutupi. Pasti ada jawabanya, pasti ada jalan keluarnya, namun apa, Sri tidak tahu apapun dari keluarga ini, dan kenapa anak ini sebegitu berharganya, Sampai, Sri teringat. "Sewu dinone" (seribu harinya), kata Sri lirih, ia melirik menatap Erna. "Er, ojok ngomong awakmu lahir Jumat Kliwon" (Er jangan bilang kamu lahir di hari Jumat Kliwon).
Erna yang mendengarnya, kaget "Awakmu pisan?) (kamu juga). Sri merasa ngeri. Sekarang ia tahu sesuatu, ada satu lagi yang harus ia cari kebenaranya. Bila benar, pertanyaanya lengkap, begitupun jawabanya. Tidak hanya Dela yang hidup di ujung maut, tapi, mereka bertiga semua, terjerat dalam satu garis weton yang sama. (*)