Bagaimana Cara Menghitung Harga Pasaran Sebuah Ponsel
KETIKA harga pasar suatu ponsel jauh lebih mahal daripada harga ritel yang disarankan, warganet seringkali langsung menyalahkan penjual atau produsen. Predikat dasar tengkulak, produsen (maaf) bangsat, dan aneka makian lain disematkan. Bahkan, sampai ada yang membawa-bawa ayat kitab suci. #tipHSW
Sebenarnya apa saja sih yang membentuk harga pasar? Benarkah pedagang mendapatkan untung superbesar dari menjual ponsel yang dijuluki ponsel gaib? Mengapa produsen tidak menggelontorkan stok ke pasar?
Sebelum melanjutkan pembahasan, saya mengajak Anda menyamakan persepsi dulu ya. Saya jelaskan beberapa istilah yang akan dipakai dalam pembahasan. Harga ritel yang disarankan adalah harga jual eceran yang direkomendasikan oleh produsen. Sering pula disebut sebagai suggested retail price (SRP), recommendation retail price (RRP), dan marketing suggested retail price (MSRP).
Agar lebih singkat, saya sering menyingkat harga ritel yang disarankan itu sebagai harga ritel resmi. Joki flash sale adalah seseorang yang bertugas membantu pemodal/tengkulak ikut berebut dalam flash sale. Joki mendapatkan imbal jasa berupa sejumlah uang. Yang membayar ponselnya adalah si tengkulak. #tipHSW
Tengkulak memiliki dana memadai untuk membeli ponsel yang di-flashsale-kan. Dia mungkin ikutan flash sale sendiri, bisa pula memanfaatkan jasa joki. Tengkulak mungkin punya toko ponsel, mungkin juga tidak. Mengapa ada joki, mengapa pula ada tengkulak? Sebab, di pasar ada peluang menarik yang bisa digarap. Ketika mencium peluang, naluri bisnis langsung bekerja deh.
Langsung bermain contoh nyata saja deh. Harga ritel resmi ponsel A Rp2,299 juta. Harga flash sale Rp2,199 juta. Harga pasar Rp2,8 juta sampai Rp3 juta. Nggak sedikit warganet yang langsung menyalahkan pedagang. "Dasar pedagang mau untung besar! Kapok kamu kalau dilaknat!" teriak warganet. Eitsss... ya jangan langsung menyalahkan pedagang.
Namanya saja berdagang, tentu niatnya mencari untung. Namun, tahukah Anda wahai warganet yang terhormat, keuntungan mayoritas pedagang seringkali tak sebesar yang Anda bayangkan. Anggapkah toko X menjual ponsel A Rp2,9 juta. Itu bukan berarti keuntungan pedagang 2,9 juta - 2,199 juta = Rp701 ribu lho.
Bisa jadi pemilik toko X kulakan ponsel A itu dari tengkulak atau pengepul di harga Rp2,6 juta. Sedangkan harga modal si tengkulak Rp2,199 juta + jasa joki Rp100 ribu. Sampai di sini mungkin masih ada yang nggak terima. "Kalau pemilik toko X kulakan Rp2,6 juta, mengapa tidak dijual Rp2,7 juta saja? Kan itu sudah untung."
Tanggapan saya, ya suka-sukanya pemilik toko X tho. Namanya saja bisnis. Ketika permintaan pasar tinggi dan berpeluang dapat untung lebih besar, sah-sah saja dijual lebih mahal. Sekarang saya beralih ke skenario kondisi kedua. Lagi-lagi yang jadi kambing hitam masih pemilik toko ponsel. Kali ini yang saya jadikan contoh adalah ponsel B yang dulu harga ritel resminya Rp999 ribu, lalu naik jadi Rp1,099 juta.
Di toko-toko ponsel konvensional, harga ponsel B itu setidaknya Rp1,25 juta. Mulai deh warganet mencaci pemilik toko. Ngambil untung kok banyak banget. 19. Saya bocorkan sebuah rahasia ya. Ketika pemilik toko ponsel kulakan ponsel B itu dari distributor resminya, harga yang mereka dapatkan lebih mahal daripada Rp1,099 juta lho. Ya, lebih mahal.
Kalau belum berubah, harga kulakan ponsel B itu Rp1,22 juta. Jadi, kalau warganet berharap pemilik toko menjual ponsel B Rp1,099 juta, itu sih namanya ngajak toko ponsel berubah wujud jadi lembaga sosial. He... he.. he.. Gimana? Sudah mulai dapat gambaran? Saya berikan satu kondisi nyata lain untuk menunjukkan jadi pedagang atau pemilik toko ponsel itu tak selalu semanis yang dibayangkan warganet.
Kali ini saya menggunakan ponsel C sebagai contoh. Harga ritel varian 4/64 dibanderol Rp2,999 juta. Ketika warganet mahabenar jalan-jalan ke toko ponsel lalu melihat ponsel C dijual Rp3,4 juta, langsung deh makian meluncur bak air terjun. Hal yang mungkin belum diketahui warganet, ketika pemilik toko ingin kulakan ponsel C dari distributor resminya, mereka diwajibkan juga kulakan ponsel D. Nggak mau? Ya berarti tak bisa kulakan ponsel C.
Padahal, ponsel D itu kini sudah kurang laku. Hal yang kemudian terjadi, ponsel D dijual rugi Rp200 ribu per unit, sedangkan ponsel C dijual Rp400 ribu lebih mahal daripada harga ritel yang disarankan. 25. Orang awam menyangka pemilik toko meraup untung Rp400 ribu dari setiap unit ponsel C yang terjual. Padahal, kalau dihitung, realitanya mereka hanya memperoleh keuntungan Rp200 ribu.
Itu pun masih keuntungan kotor. Belum dipotong bayar listrik, sewa tempat, menggaji karyawan, dll. Sekarang saya beralih ke sisi lain. Kita melihat ke sisi produsen. Kalau permintaan banyak, mengapa produsen tidak memproduksi sebanyak-banyaknya? Ponsel laris terjual, keuntungan diraup, semua senang deh.
Kata kuncinya terletak di kapasitas produksi. Kalau kapasitas produksi belum memungkinkan untuk ditambah lagi, ya mau gimana. Kapasitas produksi berhubungan dengan banyak faktor. Mulai dari jumlah line produksi, ketersediaan SDM, hingga kelancaran dari pemasok komponen.
Sampai di sini mungkin timbul pertanyaan. "Mengapa tidak jualan dengan sistem pre-order saja?" Sepintas itu memang terlihat lebih baik. Namun, kompleksitasnya lumayan bikin pening kepala lho. Dengan pre-order, berarti konsumen sudah melakukan pembayaran di muka. Seandainya terjadi hal di luar prediksi dan terlambat tersedia satu hari saja, wah... bisa dirundung habis-habisan tuh si penyelenggara pre-order.
Sumber : Herry SW (@herrysw), 18 Juni 2018.