Mendampingi Adik yang Divonis Kanker Endometrium (1)
INI adalah testimoni saya mendampingi adik yang divonis kanker endometrium. Semua pemeriksaan, perawatan dicover oleh BPJS. Hanya beberapa kali yang harus bayar sendiri ketika membawa adik ke Instalasi Gawat Darurat IGD).
Secara persis saya tidak tahu keluhan awalnya. Hanya mendapat berita dari kakak, kalau adik saya ini, perutnya sakit. Hingga suatu hari di bulan Agustus 2024, cek ke sebuah klinik laboratorium.
Di tempat itu, adik yang berusia 50 tahun, mendapat pemeriksaan lewat USG. Terlihat ada benjolan dan dipastikan itu miom. Maka, kakak saya mencari rujukan BPJS ke faskes pertama di Puskesmas Tegalrejo. Lalu memilih sebuah rumah sakit di Wirobrajan.
Rumah sakit ini dulunya bekas lapangan bola. Waktu kecil saya sering main bola, atau nonton bola. Lapangan ini adalah home base-nya PS Hizbul Wathan (HW). Jadilah, adik saya menjalani pengambilan miom di rumah sakit ini.
Berbarengan dengan pengambilan miom (daging tumbuh nonkanker) yang berukuran 3 cm-an, dokter atau siapalah, mengambil sampel jaringan (biopsi). Nah, biopsi adalah prosedur medis untuk mengambil sampel jaringan, sel, atau cairan tubuh untuk diperiksa di laboratorium.
Tujuannya untuk mendeteksi kelainan pada tubuh, seperti tumor, infeksi, peradangan, dan kelainan imunitas. Biopsi sering dilakukan untuk mendiagnosis kanker, tetapi juga bisa digunakan untuk mendeteksi kondisi medis lainnya.
Hasil biopsi akan membantu dokter menentukan jenis perawatan yang tepat bagi pasien. Beberapa hari kemudian, keluar hasilnya. Adik divonis: kanker endometrium karsinoma Figo 3. Tentu saja ini yang membuat kaget saya dan semua saudara.
Menurut Google:
Karsinoma endometrioid (EC) adalah subtipe kanker endometrium yang paling umum. Kanker endometrium adalah kanker yang menyerang lapisan dalam rahim, yaitu endometrium. Stadium III: kanker telah menyebar ke luar rahim dan leher rahim.
Dari sini, kesakitan demi kesakitan dimulai. Yang paling dirasakan adalah rasa nyeri luar biasa. Entah apa karena adik saya tidak kuat menahan sakit, atau nyerinya yang luar biasa. Beberapa kali, kami membawa adik ke IGD dan dia mendapatkan suntikan anti nyeri.
Oh ya, setelah operasi di rumah sakit di Wirobrajan itu, kakak kembali ke Puskesmas Tegalrejo, dan minta rujukan agar adik bisa ditangani di rumah sakit (RS) SO, yang berada di kawasan UGM. Ini rumah sakit besar dan banyak menerima pasien dari luar Jogja.
Kembali ke soal nyeri itu, tidak siang, tidak malam, kalau sudah tidak kuat, kami membawa ke IGD di rumah sakit di Wirobrajan itu, atau ke RS SO, atau sekali pernah ke rumah sakit kecil yang dekat rumah kami: RS LH.
Sesudah beberapa kali kontrol di RS SO, masih di Lantai 6, Gedung T, dokter yg kami pilih, namanya dokter AT, masih muda, stylish, berkacamata, adik saya dirujuk ke ahli nyeri, yakni dokter M. Nah, dokter yang kalem, benar-benar menguasai bidangnya.
Adik saya yang terus mengeluh nyeri mendapat intervensi suntik di bagian punggungnya setelah menginap sehari dan melakukan serangkaian tes sebelum tindakan. "Hasilnya bagus, mudah-mudahan tak ada keluhan dalam 6 bulan atau setahun ke depan," katanya saat visit ke bangsal rawat adik saya.
Benar, keluhan nyeri luar biasa itu hilang, dan adik saya menjalani kontrol dan konsultasi rutin dengan dokter AT di RS SO. Pada November 2024, mulailah dilakukan kemoterapi. Tentu saja sesudah dokter mendapat data kondisi internal adik dan hasil CT scan.
"Ini kemo dulu, kalau responsnya bagus, baru operasi ya. Memang harusnya sejak awal sudah diangkat (rahimnya)," kata dokter yang pasiennya selalu penuh saat praktik di RS SO antara Senin-Kamis itu.
Adik saya memperoleh rekomendasi kemoterapi siklus 3 mingguan. Tapi, terapi tidak semulus jadwal yang ada. Salah satunya karena terkendala rendahnya HB. Untuk amannya, HB harus di angka 11. Adik saya, kadang drop jadi 8.9, sehingga harus transfusi darah dulu sebelum kemoterapi.
Kemoterapi sudah jalan 3 kali, dokter AT meminta adanya CT scan karena bila memungkinkan akan dilakukan operasi pada akhir Januari 2025. Hasil CT scan terlihat bagus, jaringan mengecil. Adik saya kemudian diminta cek sebelum operasi.
Salah satunya ke urologi karena hasil CT scan ditengarai ada pembengkakan ginjal (hidronefrosis). Pemeriksaan di sini oleh dokter muda, berjalan lancar. Dokter menuliskan di lembar rujukan: siap mendampingi operasi dengan memasang selang.
Akhirnya, waktu operasi tiba. Adik saya masuk ruang bedah di Instalasi Bedah Sentral RS SO. Kalau dari bangsal menginap di Bogenvile, naik lift ke atas. Saya menjadi orang terakhir yang melihat adik sebelum masuk ruang operasi. Waktu itu pukul 11.15 WIB.
Menurut infomasi dari dokter yang visit malam hari, operasi berjalan sesuai jadwal pukul 11.30 WIB. Operasi yang dipimpin dokter AT selesai kurang lebih pukul 16.00 WIB. Sesudahnya, adik masuk ruang observasi atau apa namanya.
Di ruang itulah, kondisi paska operasi mendapatkan pengamatan seksama sebelum diputuskan boleh kembali ke bangsal Bogenvile. Kurang lebih pukul 22.20 WIB, brankar yang membawa adik masuk bangsal. Sebelumnya 2 perawat membawa keluar brankar yg ada di bangsal.
Testimoni ini belum berakhir karena kondisi adik paska operasi tidak membaik tapi memburuk, yang kami semua tidak tahu penyebabnya. Apalagi bagi saya dan kakak saya, yang awam soal medis. (*)