Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rektor Reformasi Itu Prof Ichlasul Amal Berpulang


KARENA sejumlah teman kesulitan mengakses Obituari Prof Ichlasul Amal yg kutulis di Tempo, terlampir tulisan aslinya. Dilakukan sejumlah penyuntingan oleh redaksi tanpa mengubah inti tulisan. Makasih, Bro Titan, yang berkenan memberi info pelengkap. Selamat menyimak, semoga berguna. Matur nuwun. (kalau admin memuat tulisan teman ini, karena beliau dari Fisipol UGM, dan anaknya adik kelas di SMA 4B Jogja).

Langit sore di Bulaksumur bermendung tebal tapi hujan tak kunjung turun pada Kamis, 14 November 2024. Barangkali itu penghormatan terakhir bagi Profesor Ichlasul Amal, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1998-2002, yang berpulang pada Kamis pukul 02.40 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta.
 
Setiba jenazah di Yogyakarta, seusai dibawa ke rumah duka di Sawit Sari dan disholatkan di Masjid Kampus UGM, upacara penghormatan terakhir bagi almarhum dihelat di Balairung UGM pada pukul 15.40 WIB. Sekitar dua ratusan orang hadir menyampaikan duka, doa dan rasa hormat yang dalam, termasuk para murid, sahabat dan rekan sejawat beliau seperti Sofian Effendi (Rektor UGM 2002-2007) dan Mohtar Mas’oed (Dekan Fisipol UGM 2004-2008).
 
Dalam sambutan mewakili keluarga yang disampaikan oleh Titan Hermawan, menantunya, disampaikan bahwa Pak Amal, demikian beliau lazim dipanggil, sebenarnya tergolong sehat untuk usianya yang tahun ini mengancik angka 82. Bahkan, belakangan beliau acap pergi dari Yogya ke Jakarta untuk menjenguk anak dan cucu bermobil, sambil berwisata kuliner sepanjang perjalanan. Lazimnya ia ditemani sopir dan istri tercinta, Ery Haryati, adik kelasnya saat berkuliah di UGM dulu.  
 
Itulah yang terjadi pada Kamis persis sepekan sebelum kepergiannya. Sampai di Jakarta pada sore hari, bahkan beliau menyempatkan diri mengajar secara luring di sebuah kampus di Jakarta pada malam harinya. “Ayah tidak bisa dilarang soal mengajar; ia menikmati berbagi ilmu dan bertemu dengan mahasiswa yang memberikan kebahagiaan tersendiri,” demikian tutur Titan dalam pembicaraan via telepon.
 
Mungkin karena terlalu capek dengan berbagai kegiatan, pada Ahad siang kondisi kesehatan Pak Amal mulai menurun. Acara makan siang yang sempat diagendakan bersama cucu dan anak pun dibatalkan. Pasangan Amal dan Ery Haryati memiliki dua anak yang tinggal di Jakarta yaitu Amelin Herani dan Akmal Herawan. Satu lagi anak mereka meninggal dunia saat masih remaja akibat Leukemia.
 
Siang itu juga beliau dilarikan ke RSPI Jakarta. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, pada Rabu Amal boleh pulang untuk dirawat di rumah. Namun Rabu sore sepulang dari  rumah sakit kondisi kesehatannya kembali menurun, berlanjut hingga Kamis dini hari saat Amal berpulang ke haribaan yang Maha Kuasa…
 
Pria kelahiran Ambulu, Jember, pada 1 Agustus 1942 itu memiliki tempat istimewa dalam perjalanan UGM dan Indonesia. Menempuh pendidikan dan dasar hingga menengah di Jember, Amal muda melanjutkan kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) UGM dan lulus program sarjana pada 1961. Langsung diangkat menjadi dosen di almamaternya, Amal melanjutkan studi master di Northern Illinois University Amerika Serikat yang lulus pada 1974 dan studi doktoral di Monash University, Melbourne, Australia dan lulus pada 1984.

Menulis disertasi di bawah bimbingan Prof. Herbert Feith, sosok legendaris dalam studi ilmu politik dan Indonesia, Amal menulis topik yang saat itu belum banyak dikaji para akademisi: dinamika politik dalam negeri dalam kaitan dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah. Bisa disebut beliau salah satu pionir dalam studi politik pusat-daerah sebelum kebijakan otonomi daerah diterapkan.
 
Kariernya di UGM melejit saat Amal diangkat menjadi Direktur Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial pada 1986-1988 berlanjut menjadi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) pada 1988-1994 dan berpuncak sebagai Rektor UGM pada 1998-2002. Menjadi Rektor kampus besar di era turbulensi politik tentu bukan perkara ringan. Ia harus menghela biduk besar di tengah gelombang pasang reformasi menghempas di Bumi Nusantara.
 
Sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan mantan Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jogja 1967-1968, pilihannya jelas: berpihak kepada aspirasi kaum muda dan mahasiswa mendukung gerakan reformasi. Seperti ditulis dalam buku 50 Tahun UGM di Seputar Dinamika Politik Bangsa (Sori Siregar dan Dody Mardanus, LP3ES 1999):

“Beruntung UGM memiliki Prof Dr Ichlasul Amal. Lelaki kecil dengan nyali besar. Di pengujung rezim Soeharto, di tengah pesona psikologis pergantian milenium yang diharapkan membawa perubahan, dia merupakan figur yang tepat pada saat yang tepat. Dia muncul dengan berani untuk menegakkan demokrasi yang sehat di negeri ini.”
 
Sebagai dosen muda di departemen Sosiologi UGM dan sekaligus jurnalis paruh waktu di tabloid ADIL, saya merupakan salah satu saksinya. Pada 20 Mei 1998 pagi, puluhan ribu mahasiswa, dosen UGM dan masyakarat umum berkumpul di Lapangan Pancasila UGM dipimpin oleh sang rektor, Prof. Ichlasul Amal. Rombongan kemudian melakukan aksi konvoi damai berjalan menuju ke Alun-alun Utara depan Keraton Yogyakarta dan bergabung dengan ratusan ribu massa lainnya yang datang dari berbagai penjuru.
 
Di sepanjang jalan menuju Alun-Alun warga menyemut dan menyambut dengan antusias dan menyediakan minuman dan makanan gratis untuk peserta aksi massa. Hari itu aparat polisi dan tentara menepi tidak terlihat mengamankan aksi, digantikan oleh para aktivis Banser Ansor NU, Kokam Muhammadiyah dan sejumlah pengaman sipil yang menyapa ramah mengamankan para peserta aksi damai itu.
 
Pada puncak aksi damai yang disebut sebagai “Pisowanan Agung” di sepanjang Jalan Malioboro hingga Alun-alun Utara itu diperkirakan berkumpul satu juta massa. Satu juta massa yang tertib dan damai menyuarakan tuntutan reformasi. Di depan pagelaran Keraton Yogyakarta, massa disambut oleh Sultan HB X dan KGPAA Paku Alam VIII yang kemudian membacakan Maklumat Mendukung Gerakan Reformasi.
 
Keesokan harinya, 21 Mei 2024, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari kursi kepresidenan yang sudah didudukinya selama 32 tahun. Runtuh lah rezim otoriter ‘Orde Baru’. Bagi sejumlah penafsir politik dan budaya, Soeharto tahu ‘wahyu kekuasaannya’ berakhir ketika UGM dan Kraton Yogyakarta bersatu bersama rakyat mendukung gerakan reformasi

Reformasi berarti hadirnya peluang politik dan tawaran kursi kekuasaan bagi sejumlah orang. Tapi tidak bagi Amal. Keteguhan dan integritas moral Amal sebagai akademisi dan intelektual teruji; ia menolak tawaran jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diberikan oleh Presiden BJ Habibie, wakil presiden yang menggantikan Soeharto.
 
Amal memilih teguh dan tegak berpihak kepada cita-cita reformasi dan kepentingan rakyat pada saat cakar kekuasaan mulai mencabik dan memecah gerakan pro-demokrasi.
 
Usai memanggul amanah sebagai Rektor UGM, Amal mendapatkan kepercayaan dari komunitas pers untuk menjadi anggota Dewan Pers dari unsur masyarakat/pakar. Latar belakangnya sebagai aktivis pers mahasiswa, integritasnya sebagai intelektual, dan keteguhannya sebagai aktivis pro-demokrasi non-partisan tampaknya yang menghantarkan dirinya terpilih sebagai Ketua Dewan Pers selama dua periode (2003-2006 dan 2006-2009).
 
Pada periode 2003-2006, Amal terpilih sebagai anggota Dewan Pers bersama dengan Sulastomo dan Hinca I.P. Panjaitan dari unsur masyarakat/pakar; R.H. Siregar, Santoso, Uni Zulfiani Lubis, dan Sutomo Parastho dari unsur wartawan; sedang unsur pimpinan perusahaan media diwakili Amir Effendi Siregar dan Sabam Leo Batubara. Amal terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2003-2006, dibantu R.H. Siregar sebagai Wakil Ketua.
 
Sedang pada Dewan Pers periode 2006-2009, Amal kembali terpilih sebagai Ketua didampingi Sabam Leo Batubara sebagai Wakil Ketua. Anggota lainnya adalah Garin Nugroho dan Wikrama Iryans Abidin mewakili masyarakat; Bambang Harymurti, Bekti Nugroho, dan Wina Armada Sukardi mewakili wartawan; serta Abdullah Alamudi, Sabam Leo Batubara, dan Satria Naradha mewakili perusahaan pers (Dewan Pers 2010).
 
Amal menggantikan Ketua Dewan Pers sebelumnya Atmakusumah Astraatmaja, tokoh pers yang memimpin pada 2000-2003, dan diteruskan oleh Bagir Manan, guru besar ilmu hukum, yang memimpin selama dua periode pada 2010-2017.  
 
Menjadi Ketua Dewan Pers pada periode awal reformasi tentu bukan perkara ringan. Ia harus menghadapi aneka sengkarut yang muncul sebagai dampak gelombang pasang munculnya ragam penerbitan pers di era liberalisasi media.
 
Di masa kepemimpinan Amal di Dewan Pers muncul Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan- DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
 
Kode Etik Jurnalistik sangat penting kehadirannya di era demokrasi dan sekurangnya memiliki lima fungsi yaitu: (1) Melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya; (2) Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang professional; (3) Mendorong persaingan sehat antar-praktisi; (4) Mencegah kecurangan antar-rekan profesi; (5) Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber (Wijaya dan Gischa, 2023).
 
Bagi Amal, merawat pers yang sehat berarti menjaga Marwah demokrasi yang diperjuangkannya sejak belia. Seperti ditulisnya dalam refleksi tentang peranan pers dalam membangun kebangsaan dan demokrasi:
 
“Pers dalam sejarahnya telah turut memperjuangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini pers masih harus turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan. Pergulatan untuk mewujudkan Bangsa Indonesia yang lebih baik, lebih makmur, dan lebih sejahtera masih harus terus diperjuangkan.” (Dewan Pers 2013).
 
Rektor Reformasi dan Begawan Pers itu kini telah berpulang. Selamat jalan Guru dan Teladan Kebajikan…
 
Bulaksumur, 17 November 2024
Muhammad Najib Azca
Dosen Sosiologi UGM dan Mantan Aktivis Pers Mahasiswa