Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tolong Dong Sampah itu Dibuang


SUATU hari saya pernah minta tolong staf saya yang jaga stan pameran kami untuk membuang sampah di dekat kakinya ke keranjang sampah sebelahnya. Saat itu saya lagi keliling untuk ngecek stand pameran kami.

"Mbak, tolong dong sampah itu dibuang. Supaya stannya bersih," kata saya.

Dia melengos sambil menjawab, "Itu bukan sampah saya, Bu. Saya bukan pembantu."

"Iya saya tahu bukan pembantu. Tapi area ini masih jadi tanggungjawabmu sbg penjaga stand. Kalo ada pengunjung yang buang sampah, ya ditegur atau kalau sudah telanjur, ya dibuangkan sampahnya. Ambil pake sapu itu, bukan pake tangan," jelas saya.

Akhirnya dengan bersungut-sungut, dia mengambil sapu dan mengambil sampah itu, dimasukkan secara serampangan ke keranjang sampah.

Di kesempatan lain, saya menemukan juga hal serupa. Orang belanja di minimarket, ada barang jatuh, mereka lewati begitu saja. Ya, memang bukan mereka yang menjatuhkannya, sehingga mereka tidak punya kewajiban untuk mengembalikannya.

Beberapa kali saya lihat anak kecil yang melakukannya. Mereka berhenti, mengambil barang itu, lalu menaruhnya di rak. Didikan yang baik!

Kalau di kantor ada pantry kecil, biasanya ada tumpukan piring, gelas, sendok, kotor di sana. Nunggu si petugas cleaning. Sementara si petugasnya nggak tahu ke mana, tumpukan itu makin tinggi.

Mau minum, gelasnya masih kotor. Akhirnya beli minuman atau pinjem gelas orang lain. Jarang sekali ada yang suka rela untuk mencucikan.

Jawaban, "Aku bukan pembantu" pernah saya dengar saat ada rekan yang diminta bantu cucikan karena petugas cleaning tidak masuk karena sakit. Akhirnya kami berdua, teman dan saya, yang hobinya cuci piring, membersihkan.

Setelah itu ya nggak ada yang mengatai kami berdua pembantu, atau sengaja minta dicucikan gelasnya. Ya, mungkin karena teman saya itu tangan kanan owner dan saya adalah manajer.

Di rumah pun kadang berlaku hal yang sama. Barang2 berantakan di mana-mana, sampah juga kadang-kadang ya. Kalo si Mama menyuruh anak A merapikan, atau membuang sampah, hampir selalu ada teriakan balasan, "Bukan aku!!! Mesti aku terussss yang disuruh!"

Si Mama nggak mau kalah, "Iyaaaa... Memang bukan kamu, tapi Mama minta tolong kamu rapikan atau buangkan sampahnya. Barang-barangmu juga Mama yang rapikan, padahal bukan Mama yang pake!" Jurus ampuh, krn hasilnya ada yang bergerak sambil mulutnya monyong.

Dari hal-hal kecil itu sebenarnya mendidik untuk hal-hal besar. Hal besar paling pertama adalah ego. Mengalahkan ego. Membuang sampah di area kerja kita, membersihkannya, bukan merupakan penghinaan.

Tindakan itu bukan berarti kita jadi pembantu. Tidak begitu konsepnya.

Membantu orangtua merapikan rumah, termasuk sampah, barang, dsb, bukan merupakan bentuk ketidakadilan. Itu melatih kepedulian. Melatih cara pandang lebar (wide angle).

Ketika kita bergerak, kita terlatih untuk melihat dan mengamati seluruh area ruangan. Perbuatan membantu orangtua selalu berbuah baik, entah sekarang, entah kapan.

Dari hal-hal kecil itu, kita berlatih untuk peduli pada orang lain. Kita membantu diri kita sendiri untuk menjadi manusia berfungsi penuh (fully functioning person).

Jadi bukan untuk orang lain sebenarnya sih ya. Dari pengalaman saya, ketika saya mengembalikan barang jatuh di minimarket, nggak ada tuh yang mengatai saya "heeiii pembantu, kerja yang bener dong!" (itu karena saya nggak pake seragam ... hahaha.. ).

Ada tertulis, barangsiapa setia pada hal-hal kecil, dia juga akan setia pada hal-hal besar. Bener banget itu. Ayo kita berlomba-lomba dalam kebaikan, mulai dari hal kecil saja. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri.

Ya khan?

Oleh: Naftalia Kusumawardhani