Inilah Empat Kunci dalam Penulisan Feature
NAH, setelah Anda tahu pegangan (kunci) dasarnya (dalam penulisan feature), marilah kita gerakkan senjata-senjata yang dipakai oleh wartawan profesional untuk menaklukan pembaca yang kurang bersemangat. Empat senjata kunci itu penulisan feature: fokus, deskripsi, anekdot, dan kutipan.
Sebelumnya, di bagian lain blog ini, unsur-unsur itu sudah ada (dibahas), tapi mungkin tidak atau belum Anda sadari. Reporter kita dalam kisah Nyonya Sulaiman, berpegang erat pada cerita dasar yang harus diceritakannya. Itu artinya ia berusaha fokus.
Si wartawan, menyiapkan gambaran mental Nyonya Sulaiman kepada pembaca. Berarti reporter itu sudah memakai deskripsi. Ia juga dengan baik menaburkan beberapa cerita kecil pengalaman nyonya tua itu.
Dengan kata lain, reporter itu menggunakan anekdot, kisah-kisah yang mirip lelucon, misalnya cerita tentang calon pencuri yang tertangkap polisi.
Dan reporter itupun memanfaatkan kutipan dari percakapannya dengan tokoh utama cerita hingga bertambahlah bumbu cerita dengan memakai kata-kata nyonya itu sendiri.
Marilah kita teliti teknik-teknik atau kunci dasar penulisan feature itu:
1. Fokus
Ini adalah langkah penentu, baik dalam penentuan cerita maupun penulisannya. Anggaplah fokus ini sebagai unting-unting (tali berbandul timah untuk mengukur tegak lurusnya tiang, rata tidaknya tembok) mandor bangunan (lihat gambar).
Dengan pokok cerita yang cakupannya lebih sempit, dan tidak melebar ke sana ke mari, unting-unting bisa dipasang dengan tepat. Dalam menulis cerita, setiap potong informasi harus menyentuh unting-unting itu.
Kalau unting-unting-nya tidak tegak lurus benar, bangunan akan miring. Bila si tukang (yaitu reporter) tidak memasang setiap batu bata (unsur cerita) menurut unting-unting, maka bangunan itu akan runtuh.
Dalam menentukan topik cerita, reporter harus waspada memilih pendekatannya, yakni harus cukup sempit sehingga ia bisa mengendalikannya, tapi harus cukup longgar buat menampung bahan yang menarik.
Seorang reporter mungkin diberi tugas menulis feature tentang gaya potongan rambut pria yang tengah berubah. Bila ia coba-coba membuat cerita dengan topik yang menyeluruh dan luas, ia bisa memperoleh bahan yang menyempitkan persoalan itu, hanya dengan membahas teknik pemotongannya.
Tapi, pembaca mungkin akan jemu, karena soalnya begitu sepele. Maka, reporter harus mempertimbangkan pelbagai angle (sisi) yang bisa dikelola dengan mudah dan sekaligus menarik.
1. Ia bisa mencari tempat gunting rambut yang sudah tua di dekat situ, dan berbicara dengan tukang-tukang pangkas yang sudah bertahun tahun membentuk gaya rambut. Angle cerita ini akan berupa pandangan tentang perubahan potongan rambut oleh dua orang pemangkas. Pandangan di sini akan berapi-api dan mungkin lucu.
2. Ia bisa mengunjungi tempat-tempat penata rambut yang baru dan berbicara dengan seorang penata rambut yang menangani model yang sedang digemari. Juga kepada para langganan di situ ditanyakan mengapa mereka pergi ke penata rambut.
3. Ia juga bisa mencari tanggapan kaum wanita untuk mengetahui pendapat mereka apakah model rambut bisa memperbaiki daya tarik pria, atau mereka lebih senang pria berambut pendek seperti waktu-waktu sebelumnya.
Walau artikel itu mungkin tidak “ilmiah” karena tidak mewakili pendapat sebagian besar wanita, ia bisa efektif bila memakai cara pendekatan tulisan ringan. Yaitu mencari tanggapan dari kelompok wanita yang menarik, misalnya para pramugari, para gadis model, dan sebagainya.
Pandangan para wanita itu berbeda-beda, tapi ada satu yang sama: fokus, yaitu soal model rambut pria. Pada contoh-contoh itu, penulis mempunyai satu tema cerita yang kuat dan bahan yang banyak bisa digali.
Tapi awas, penulis harus tetap setia pada fokus. Bila tidak, ia bisa tergoda untuk membahas model pakaian, sampai hiburan yang digemari pria modern. Akibatnya, penulis hanyut dalam ratusan persoalan lain yang tidak lekat dengan pokok persoalan.
Hasilnya, sebuah feature yang membingungkan atau membosankan pembaca, antara lain karena arus cerita terganggu. Bila penulis tidak berpegang erat pada fokus, penulis dan pembaca bisa tersesat di hutan kata-kata yang tanpa arah, tujuan, dan makna.
Disiplin adalah senjata penulis untuk berpijak terus pada pokok persoalan. Ia harus bisa menjadi penguasa terhadap kata-kata dan gagasannya sendiri, dan bukan menjadi budak dorongan hatinya.
Tampaknya hal ini hanya masalah elementer, tapi banyak wartawan yang kadang-kadang membiarkan tulisannya hanyut dan menyimpang dari fokus, sehingga me rusak feature-nya yang seharusnya baik.
Supaya tidak melenceng dari fokus, penulis harus mempersoalkan setiap bagian materi yang dipakai, sebelum dan sesudah tulisan dikerjakan. Lihat buku catatan Anda. Periksa setiap potong informasi untuk mengetahui apakah itu cukup relevan, punya hubungan yang jelas dengan pokok persoalan.
Bila tidak relevan, atau tidak membantu Anda mencapai sasaran pokok, yaitu bercerita secara efektif, singkirkan atau coret saja, sehingga nanti tidak akan mengganggu. Jangan punya belas kasihan: bila materi tidak relevan, buang!
Setelah Anda menulis, perhatikan setiap blok materi yang Anda pakai. Apakah masih ada hubungan yang jelas dengan fokus cerita? Kalaupun relevan, apakah ia menambahkan sesuatu yang berharga dalam usaha Anda bercerita? Bila tidak, coret saja karena hal itu hanya akan mengurangi efektivitas tulisan.
Fokus sangat dirasa perlu dalam cerita-cerita yang panjang. Bila Anda mengerjakan laporan in-depth yang panjang, besar sekali kemungkinan ter dapatnya materi yang sesungguhnya tidak relevan.
Alhasil, pembuangan hal-hal yang tidak relevan pun makin dirasa perlu. Cerita yang panjang itu sendiri sudah merupakan penghambat minat banyak pembaca. Ingat, Anda bersaing dengan waktu dan perhatian pembaca.
Mungkin seorang pembaca, setelah melihat selintas sebuah cerita yang panjang, kemudian memutuskan untuk tidak membuang waktunya buat membaca cerita itu.
Karena itu reporter bisa membuat cerita lebih menarik, sampai tingkat tertentu, hanya dengan memendekkannya lewat pemotongan bagian-bagian yang tidak relevan.
Bila pembaca tertarik dan mulai membaca, soal berikutnya adalah menjaga minatnya supaya tetap membaca seluruhn cerita yang dengan susah payah sudah Anda tulis itu.
Katakanlah, ketika Anda sedang menulis, setelah sepertiga bagian pertama, Anda kehilangan fokus lalu menyisipkan satu bagian materi yang tidak relevan.
Setelah mengomel mempersoalkan apa maksud bagian yang disisipkan itu, pembaca yang sekejap telah kehilangan arus bacanya itu mungkin segera akan pindah ke cerita lain.
Bila pembaca melompat setelah membaca sepertiga tulisan, berarti reporter melakukan pekerjaan sia-sia untuk sisanya yang dua pertiga itu. Berarti pula penerbitan itu telah membuang kolomnya untuk tulisan yang ternyata tidak dibaca. Pokoknya, tidak ada yang beruntung.
Untuk meringkas perlunya fokus, reporter harus:
a. Dengan cermat memilih angle cerita, sehingga ia dengan mudah bisa mengelola bahan yang diperlukan untuk mengutarakan cerita itu.
b. Pegang teguhlah angle cerita itu dengan menghapuskan bagian yang tidak berhubungan langsung dengan angle-nya, atau yang tidak membantu mencapai sasaran.
2. Deskripsi
Dalam beberapa hal, televisi menang atas media cetak karena media elektronik ini mampu menggambarkan bentuk fisik orang atau barang dengan jelas di layar monitor. Pemirsa bisa menangkap sosok dan wajah, serta bisa menilai langsung seorang tokoh yang ditayangkan televisi.
Sedangkan pembaca media cetak harus berupaya membayangkan sang tokoh dari
kata-kata yang tercetak (atau lewat potret, kalau ada) untuk memperoleh gambaran seorang tokoh cerita.
Tapi, dalam beberapa hal, penulis yang baik, bisa mengubah kelemahan media cetak ini menjadi kekuatan, yaitu dengan penulisan deskriptif. Gambaran yang ditangkap kamera hanya dangkal dan satu dimensi.
Kelemahan TV adalah, ia sangat terikat waktu yang sangat berharga, sehingga reporter TV jarang bisa memperoleh gambaran yang mendalam. Kalau waktu cukup tersedia untuk film dokumenter, katakanlah setengah jam, kehadiran kamera TV akan mengurangi suasana yang wajar dan realistis.
Kamera TV dapat menangkap gambaran yang baik pada feature yang menampilkan wajah orang, tapi penulis feature yang terampil bisa membuat feature lebih menarik dan memberikan gambaran sesungguhnya tentang tokoh masyarakat pada saat ia tidak disorot lampu TV.
Yang lebih penting, penulis feature bisa memberikan gambaran tentang tabiat serta gaya, lewat pengamatan yang terlatih baik, dan menekankan karakteristik orang, yang menyebabkan kita memperoleh pandangan ke dalam watak dan kepribadian tokohnya.
Penulis feature tidak hanya memberikan gambaran satu dimensi, tapi keseluruhan pribadi dan juga citra seorang tokoh. Dalam hal yang digambarkan bukan seseorang, tapi misalnya sebuah tempat setelah ditimpa musibah, atau massa yang bersuka ria, penulis bisa menampilkan suasana.
Penulisan feature deskriptif yang baik merupakan gabungan beberapa kecakapan: pengumpulan berita reportase, kemampuan observasi yang tinggi, pengetahuan tentang manusia sesuai dengan pengalaman reportase, dan kemampuan meramu kata-kata secara ringkas tapi sangat efektif.
Dengan itu jelas, kemampuan reporting perlu sekali dan tidak mengherankan bila sedikit saja, malah mungkin tidak ada, penulis feature kelas satu yang mencapai suksesnya tanpa “magang” (berpraktik) sebagai reporter berita.
Untuk mengumpulkan bahan guna melukiskan sesuatu, reporter bisa berjam-jam, berhari-hari, atau berminggu-minggu bergaul dengan subjeknya, yang bila diramu bisa menciptakan citra yang bisa diraba pembaca.
Apa yang disebut “jurnalisme baru” menghargai metode kontak yang panjang ini. Dalam mencari bahan feature tentang profil Penyanyi Frank Sinatra untuk majalah Esquire, penulis Gay Talese berhari-hari mengikuti Sinatra ke mana-mana, memperhatikan bagaimana penyanyi ini bereaksi terhadap publik.
Hasilnya, berupa cerita yang disambut hangat yang menjadi salah satu contoh baik karya “jurnalisme baru”.
Selama pengumpulan bahan cerita, subjek sering tidak sadar akan kehadiran reporter yang dengan bijaksana masuk bergabung hingga tak tampak sebagai orang asing.
Kebanyakan politikus cenderung terlalu sadar diri ketika berhadapan dengan masyarakat. Dengan demikian, bila disorot lampu TV, ia akan berperan sebagai tokoh masyarakat yang berbeda, yang tak mencerminkan kehidupannya sehari-hari, dengan harapan rakyat akan melihat mereka pada kondisi yang terbaik.
Kita ambil contoh, politikus John McIntosh. Ia seorang pemain watak yang baik. Kepada masyarakat, ia selalu menampakkan wajah yang kelihatan marah. Bila kamera ditujukan kepadanya, ia beraksi sebagai pembela rakyat kecil yang sedang marah.
John McIntosh selalu mengatakan “tidak” pada rancangan undang-undang tertentu. Hanya, melalui “mata” kamera, warga kota tidak tahu John McIntosh sesungguhnya pria periang, yang dengan tulus mengakui permainan sandiwaranya itu.
Penulis feature, dengan teknik deskriptif, bisa dengan efektif memotret John McIntosh, dengan menekankan angle yang menyorot perbedaan citra politikus itu di depan umum dan kehidupannya di rumah.
Ada keuntungan yang sama bagi penulis feature untuk menggambarkan suatu kejadian. Suatu “cerita tentang orang-orang” yang sangat hidup mungkin berada di depan hidung kamerawan TV, tapi nyatanya tidak terjangkau olehnya.
Pada pertandingan-pertandingan olah raga, banyak penerbitan mengirimkan penulis feature untuk menulis “cerita-cerita berwarna”. Penulis seperti ini mengabaikan pertandingannya, paling tidak dalam bertugas dan memusatkan perhatian untuk menangkap suasana dan perasaan orang lain.
Ia bicara dengan anak-anak, nenek-nenek, penjual makanan, untuk menangkap suasana “warna-warni” penonton dan pandangan banyak orang terhadap peristiwa itu.
Setelah pertandingan selesai, ia bisa menunggu sebentar untuk menanyakan pendapat pemain mengenai penonton. Ia bisa bicara dengan penjual karcis sebelum pertandingan, bahkan kemudian bicara dengan istri para pemain.
Kegiatan reporter itu menghasilkan tulisan, yang menempatkan pembaca seolah-olah hadir di lapangan dan bisa melihat, mendengar, bahkan merasakan bau segala hal yang oleh para penonton, harus dibayar beberapa ratus rupiah untuk dilihat, didengar, dan dirasakan baunya di stadion.
Efek “Anda-hadir-di-sana” sangat penting untuk penulisan feature dan ini hanya bisa dicapai lewat deskripsi atau pelukisan.
Secara ringkas, penulisan deskriptif ibarat daging yang mengisi rangka cerita, hingga membuatnya hidup, seolah bernapas, suatu kesatuan yang bisa menggaet minat pembaca serta memberikan gambaran yang lebih realistis.
Teknik-teknik penulisan deskriptif bervariasi dan bergantung pada individu setiap reporter. Dengan bertambahnya pengalaman, kebanyakan reporter mengembangkan tekniknya sendiri dalam mengumpulkan bahan pelukisan dan menjahitnya menjadi cerita.
Namun, di bawah ini ada beberapa saran, petunjuk, pedoman, untuk penulisan deskriptif:
1. Ingat, Anda sesungguhnya adalah mata, telinga, hidung pembaca. Tugas Anda mengumpulkan bahan-bahan yang terpilih, yang bisa dianalisa dan dicerna pembaca hingga menjadi suatu gambar. Untuk memerankan hal ini, Anda harus awas terhadap setiap ciri, betapa pun halusnya, yang akan membantu pembaca menemukan gambar atau citra yang tepat (akurat).
2. Kehadiran Anda sebagai reporter jangan mempengaruhi si subjek. Berbuatlah sehingga Anda bisa mengamati subjek itu (misalnya seorang tokoh) dalam keadaan sewajarnya. Bila perlu mewawancarai, cobalah lakukan agar si subjek bisa merasa santai dan berbuat lebih wajar, tidak kaku atau dibikin-bikin.
3. Kumpulkanlah sebanyak-banyaknya catatan, lebih banyak dari yang bisa Anda pakai. Kemudian, sebelum menulis, saringlah catatan itu untuk menentukan hasil pengamatan mana yang paling efektif menangkap gambaran wajah dan watak si subjek serta sekitarnya.
4. Dalam menulis, sebarkanlah deskripsi sepanjang cerita. Jangan dihimpun di satu bagian. Ini akan memperenak arus baca.
5. Ambillah jalan tengah antara terlalu banyak deskripsi dan terlalu sedikit deskripsi. Ini adalah target penulis feature. Bila ceritanya terlalu penuh dengan detail pelukisan, hilangkan detail yang kurang penting. Bila cerita tidak berhasil membuat Anda “melihat” si subjek, tambahkanlah deskripsi.
6. Meski penulis harus menjadi telinga, mata, dan hidung pembaca, ia tidak boleh mencoba memerankan otak pembaca dengan menyisipkan kesimpulan dan penafsirannya sendiri. Sering kesimpulan seperti itu hanyalah tanda kemalasan, mengambil jalan pendek dengan menghindari keharusan deskripsi.
Seorang penulis yang kurang hati-hati menggambarkan wanita dengan kata “cantik”. Karena “cantik” adalah istilah yang relatif, banyak yang mungkin tidak setuju, bila pembaca sendiri melihat gambar wanita itu.
Sebagai gantinya, penulis bisa menghilangkan kata “cantik” dengan menggambarkan secara realistis bagaimana wanita itu:
Matanya yang besar mengambang pada wajah kuning langsat yang dihiasi rambut hitam memanjang. Ia tidak memakai make-up karena, “Saya tidak percaya make-up bisa memikat pria. Kalaupun saya memerlukannya, saya tidak akan memakainya.”
Dengan teknik ini, penulis memberikan gambaran konkret untuk membantu pembaca membayangkan (sosok) wanita itu. Dan setelah menanamkan daya tarik wajah wanita itu (“cantik”) penulis memberikan sentuhan sedikit tentang kepribadian wanita itu dengan kutipan yang efektif.
3. Anekdot
Kepandaian mengisahkan cerita sering dibantu oleh adanya anekdot, yakni cuplikan kejadian yang lucu atau menarik, yang memberikan tinjauan ke dalam subjek cerita itu dan sekaligus menghibur pembaca.
Dalam feature, anekdot bisa berperan sebagai “cerita dalam cerita”, berupa cerita oleh atau tentang si subjek. (Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anekdot adalah cerita singkat yang menarik, lucu atau mengesankan)
Mengumpulkan anekdot bisa lebih sulit daripada yang kita duga. Penulis feature mungkin bisa bicara dengan banyak orang yang mengetahui si subjek, untuk mencari anekdot yang bisa menambah wawasan kita tentang wataknya.
Persoalannya, kawan-kawan si subjek mungkin enggan bercerita tentang sesuatu yang bisa menurunkan martabat si subjek. Penting dicatat, “memilih” anekdot memerlukan kecerdasan ekstra.
Janganlah memilih anekdot yang cenderung merendahkan si subjek, memperolok-olokkannya, atau membuka “rahasia” pribadinya yang ia tak ingin diketahui publik. Jangan lupa, dalam profesi jurnalisme, etika berlaku pada seluruh proses penyajian informasi.
Baca yang Ini Bos
Misalkan, penulis suatu ketika mengumpulkan bahan untuk feature yang mendalam mengenai seorang pemimpin agama yang sangat dihormati. Wawancara dengan sahabat dekat tokoh itu (mungkin) sebagai berikut:
Wartawan: “Saya ingin sedikit anekdot tentang Pak Anu, cerita tentang dirinya yang memungkinkan saya memberi gambaran kepada pembaca bagaimana sebenarnya beliau itu. Ada yang Anda ingat?”
Teman Pak Anu: (tertawa kecil): “Ya, saya punya banyak, tapi sebentar, mana yang bisa saya ceritakan.” Ternyata kemudian ia melanjutkan: “Wah, saya tidak berani mengatakannya karena saya bisa dimusuhi.”
Hasilnya: teman Pak Anu itu bercerita banyak, tapi hanya yang berlebihan memuji-muji, hingga hanya merupakan gambaran sepihak tentang si subjek.
Mengadakan wawancara dengan lawan si subjek juga sulit. Anekdot yang datang dari lawannya harus diperhatikan benar, apalagi bila bersifat menghina. Bila anekdot itu mengandung maksud politik, atau cenderung fitnah, reporter harus waspada.
Gudang anekdot seorang reporter merupakan sumber yang penting sekali. Ia bisa mengingat-ingatnya bila akan menulis feature tentang pribadi-pribadi atau lembaga.
Misalnya cerita tentang pengalaman polisi susila menangkap pelacur (pekerja seks komersial/PSK) di hotel.
“Kami tahu pelayan hotel menyediakan pelacur, sehingga saya berpakaian sebagai tamu dan mendaftarkan diri ke resepsionis. Teman saya duduk di ruang tunggu, dan ia harus berlagak seolah-olah sedang menunggu seseorang.
“Pelayan hotel memberikan ‘extraservice’ dan membawa wanita. Saya turun tangga dan membeli sebungkus rokok untuk memberi kode pada kawan saya. Ia seharusnya masuk ke kamar saya dalam waktu 15 menit untuk melakukan penangkapan. Ia juga akan menangkap saya, sehingga penyamaran saya berhasil."
“Wanita itu sudah datang ke kamar saya dan saya sudah siap-siap. Setengah jam kemudian, teman saya belum muncul juga. Maka, saya lakukan penangkapan sendiri. Ketika saya membawa wanita dan pelayan hotel turun, teman saya masih duduk di ruang tunggu. Ia sedang mambaca komik dan tertawa.”
Maka, tak heran bila banyak reporter menganggap anekdot sebagai “permata”, dan menaburkan permata itu di semua bagian cerita. Tak cuma dikelompokkan tersendiri di satu tempat.
4. Kutipan
Kutipan langsung merupakan salah satu alat penulisan yang paling efektif. Bagaimanapun pandainya seorang penulis, ia perlu pergantian langkah untuk menghilangkan gaya yang sudah monoton.
Penulis novel memakai dialog untuk menghentikan kejemuan. Setelah dengan cermat menciptakan perwatakan, penulis berusaha membuat tokohnya “bicara” dalam gaya yang khas, yang cocok dengan pribadi dan latar belakang tokoh itu sendiri.
Pemakaian kutipan, baik dialog maupun monolog, memberikan selingan dan variasi dalam cerita, dan memberikan wawasan tentang si tokoh. Meski nada suara tidak bisa dicatat dengan baik dalam tulisan, pemilihan kata dan gaya bisa dipakai untuk menunjukkan kepribadian si subjek.
Gaya kutipan yang sesuai dengan isi cerita akan membuat pembaca seakan-akan “mendengar” sendiri ucapan yang tercantum dalam kutipan itu. Bagi penulis feature di surat kabar, pemakaian kutipan yang terampil merupakan kekuatan vital untuk menjaga agar pembaca tidak berpindah setelah membaca separuh cerita, karena merasa gaya yang itu-itu juga.
Kita ambil sebuah contoh kutipan: “Kadang-kadang, saya merasa ingin mengundurkan diri,” kata Wali Kota.
Kutipan yang sudah agak rutin ini memberikan informasi yang menarik kepada pembaca, dan mungkin secercah wawasan tentang watak sang wali kota. Meski begitu, kata-katanya datar saja dan tidak mencolok.
Dalam bentuk kutipan langsung, lebih terasa keaslian kutipan itu. Kutipan ini juga menghilangkan kebosanan. Dengan menambah sedikit saja, efeknya makin besar.
“Kadang-kadang, saya merasa ingin mengundurkan diri,” kata Wali Kota,
dengan nada marah.
Dengan tambahan sedikit ini, unsur nada suara jadi terasa. Telinga bagian dalam pembaca seakan-akan tergetar karena “mendengar” si pejabat berteriak dengan murka.
Memang kutipan mempunyai beberapa keuntungan. Tapi penulis harus sangat peka terhadap pelbagai pertimbangan etis. Kutipan bukan hanya menulis apa yang dikatakan si subjek, tapi harus disajikan dalam konteks yang sesuai.
Bila, misalnya, dalam wawancara, telepon berdering dan ada seseorang yang memanasi wali kota itu, maka penulis wajib memperjelas kejadian itu, terutama bila wali kota itu biasanya menyatakan rasa puasnya terhadap jabatannya.
“Kadang-kadang saya merasa ingin mengundurkan diri,” kata Wali Kota dengan marah, sambil membanting gagang telepon. Seorang warga kota telah mengutuk wali kota lewat telepon, yang menyebabkan wajah Wali Kota merah padam. Itu satu-satunya komentar yang tidak enak yang diucapkannya tentang pekerjaannya.
Masih ada satu kewajiban bagi reporter: pertimbangan etis terhadap catatan off the record. Misalnya, dalam wawancara itu Wali Kota mengungkapkan rasa tidak senangnya pada seorang anggota dewan.
Harya Baskoro adalah anggota dewan yang paling tidak bermutu, paling malas, yang pernah saya temui selama saya bertugas,” katanya. Segera setelah sadar bahwa komentarnya itu akan menimbulkan kesulitan, wali kota segera menambahkan, “tapi ini off the record”.
Jika seorang reporter bersedia menerima informasi off the record, secara etis ia tidak boleh memuatnya. Tapi, jangan bertindak seperti “ular mencari pentung”, yaitu bolak-balik bertanya kepada narasumber, apakah ucapannya barusan off the record atau tidak!
Masih ada persoalan lain dalam pengutipan, yaitu soal “merapikan” kutipan. Memang kutipan pada dasarnya adalah laporan tertulis mengenai apa yang diucapkan subjek. Tapi, kebanyakan reporter “merapikan” kesalahan tata bahasa karena kesantunan yang lumrah saja.
Hanya sedikit orang yang bisa dengan mutlak memakai tata bahasa yang baik dalam percakapan lisan. Orang berbicara secara informal, bahkan juga mereka yang sangat terdidik.
Seorang pejabat mungkin terlalu banyak menggunakan kata “daripada....”, atau seorang bintang memakai kata “gimana”, “apa namanya”, dan seterusnya.
Sepanjang kesalahan tata bahasa itu tidak menimbulkan akibat langsung terhadap cerita, reporter harus memperbaiki kesalahan itu. Tetapi tidak boleh mengubah pesan pokok atau pemilihan kata-katanya.
Perbaikan ini menghindarkan si subjek dari rasa malu. Kesalahan dalam percakapan sehari-hari bisa diterima, tapi bila sudah ditulis sangat memalukan.
Subjek biasanya kelak lebih bisa kooperatif dengan si reporter, bila ia sadar akan “jasa” si reporter memperbaiki tata bahasanya. Sayangnya, hanya sedikit orang yang sadar bahwa kutipan mereka sudah dirapikan wartawan.
Dalam beberapa hal, reporter bisa membiarkan kutipan sebagaimana aslinya. Misalnya, ada tokoh yang, untuk mengimbau rakyat, dengan sengaja memakai kata-kata yang “kampungan”. Ia pasti kurang suka bila si reporter kemudian membuatnya seperti seorang guru tata bahasa.
Membuat perbaikan atau tidak, tergantung kepada reporter itu sendiri. Selama keputusannya atas dasar tuntutan profesional, bukan rasa senang atau tidak senang secara pribadi, tidak ada orang yang mempersoalkan keputusan itu.
Banyak problem teknis dalam menulis kutipan. Kebanyakan reporter muda cenderung terlalu banyak mengutip (over-quote), atau terlalu sedikit mengutip (under-quote).
Dalam over-quoting, reporter hanya menyusun kutipan, seraya kadang-kadang menyisipkan kata penyambung. Cara pengutipan seperti ini sering tidak bisa diterima.
Sedikit orang yang menggunakan kata-kata secara ringkas dalam percakapan. Sebagai penulis, wartawan harus mampu menyampaikan pesan itu lebih jelas dan ringkas, dengan cara membuatnya menjadi kalimat kutipan tak langsung.
Overquoting menghancurkan salah satu tujuan baik dalam pengutipan: menghapuskan kejemuan karena gaya yang sama. Dengan overquoting, reporter hanya mengganti gaya monoton dirinya dengan gaya monoton seorang lain.
Underquoting merusakkan. Banyak reporter baru yang tidak yakin akan kemampuannya mengambil kutipan, sehingga ia selalu membuat kutipan tidak langsung. Cara ini juga menghilangkan tujuan baik pengutipan.
Pedoman pengutipan untuk menentukan apakah Anda akan mengutip langsung atau tidak, kurang lebih seperti di bawah ini.
1. Apakah kata-kata dalam kutipan itu tidak berantakan, ringkas, dan jelas? Bila jawabannya tidak, Anda harus memakai kalimat tidak langsung.
2. Apakah kutipan langsung itu akan memperkuat efek, memperjelas siapa yang bicara, atau menambah kesan sebagai pendapat dari orang yang memang layak dikutip? Bila jawabannya ya, pakailah kalimat kutipan langsung.
3. Apakah cerita yang mengawalinya cenderung under-quote? Bila jawabannya ya, pakailah kutipan langsung. Bila over-quote, pakailah bentuk kutipan tidak langsung.
Kadang-kadang pilihannya, malah lebih sulit, yakni bila hanya sedikit bagian kutipan yang dapat diangkat. Kebetulan, bagian kecil itu yang sangat bagus.
Bila demikian halnya, baiklah kita memakai bentuk kutipan tidak langsung untuk menuliskan sebagian besar ucapan si subjek, dan baru kita pakai tanda kutipan langsung pada bagian yang menarik perhatian itu:
Wali Kota mengutuk Komisi Pelayanan Masyarakat yang cara kerjanya “tolol dan brengsek” dalam menjalankan petunjuk-petunjuk DPRD.
Kadang-kadang kutipan yang bagus bisa lemah karena ditulis terlalu panjang:
“Karena sikap warga yang tidak kooperatif, selalu mengganggu kami dengan keluhan-keluhan kecil-kecil, seperti gonggongan anjing, radio stereo yang berisik, anak-anak yang ribut, perkelahian pribadi, kucing hilang, bau yang tidak enak dari pabrik, saya mengundurkan diri,” kata Ketua RT itu.
Kutipan Pak Ketua RT itu terlalu berkepanjangan, sehingga wartawan bisa memilih begini:
“Karena sikap warga yang tidak kooperatif, yang selalu mengganggu kami dengan keluhan kecil-kecil .... saya mengundurkan diri,” kata Ketua RT itu.
Atau, ada cara yang paling “aman”:
“Karena sikap warga yang tidak kooperatif, saya mengundurkan diri,” kata Ketua RT itu. “Mereka selalu mengganggu kami dengan keluhan kecil-kecil.”
Kalimat awal kutipan seyogianya dibuat ringkas, dan pembaca segera diberitahu siapa yang mengucapkan kutipan itu. Janganlah menyusun kutipan, yang berpanjang-panjang, sehingga baru setelah nyaris menghabiskan satu kolom penuh, Anda baru memberitahu, “..........,” kata Ketua RT itu.
Dalam bagian atas sudah kita bicarakan perlunya alinea pendek. Tapi kadang-kadang sebuah kutipan yang bagus memerlukan tempat panjang. Nah, seorang reporter yang baik akan membagi kutipan itu menjadi beberapa alinea.
“Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat. Uang kami habis tiga minggu kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran. Saya mencoba kemudian untuk pergi ke Kantor Jawatan Sosial, tapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain karena saya tidak punya uang untuk ongkos bis. Maka, selama dua minggu, kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan,” kata Abdul Gafur.
Tapi, kutipan panjang seperti ini sebaiknya jangan dilakukan berulang-ulang, sebab mudah membosankan. Ingatlah “psikologi” pembaca: mereka ingin membaca tulisan Anda, bukan mendengar ucapan orang lain!
Bila penulis memuluskan memakai kutipan itu supaya efektif, ia harus memotongnya menjadi paling tidak dua alinea. Ini bisa dilakukan dengan tidak menutup kutipan pada akhir satu alinea dan menambahkan tanda kutipan pada awal alinea berikutnya:
“Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat,” kata Abdul Gafur. “Uang kami habis tiga pekan kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran."
“Saya mencoba kemudian untuk pergi ke Kantor Jawatan Sosial, tapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain karena saya tidak punya uang untuk ongkos bis."
“Maka, selama dua pekan terakhir ini, kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan.”
Anda perhatikan bahwa penyebutan nama hanya sekali pada awal alinea karena kutipan masih berlanjut. Dalam hal-hal lain, bila ada kutipan baru, nama yang dikutip harus disebutkan lagi:
“Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat,” kata Abdul Gafur. “Uang kami habis tiga pekan kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran.”
Untuk meneruskan cerita itu setelah pengecekan secukupnya, reporter mencampur kutipan langsung dan kutipan tidak langsung:
Mudjono, kepala bagian di tempat Abdul Gafur bekerja di Koperasi Pertanian Meguwo, mengatakan Gafur dipecat setelah terbukti menggelapkan uang pupuk. Gafur membantah tuduhan itu.
Yang empunya rumah tempat Gafur tinggal, Cecep Suganda, membantah kata-kata Gafur, bahwa ia selalu membayar sebelumnya. Menurut Cecep, Gafur belum membayar empat bulan.
“Saya mencoba ke Kantor Jawatan Sosial, tetapi mereka mengatakan saya idak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain, karena tidak punya uang untuk ongkos bis,” kata Gafur.
Sri Sukatni, petugas di Kantor Jawatan Sosial, mengatakan Gafur menolak tiga tawaran pekerjaan, termasuk di sebuah toko, 2 km jauhnya dari jembatan tempat tinggalnya kini.
“Maka, selama dua pekan terakhir ini, kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan,” kata Gafur.
Di Kampung Jambe, Kelurahan Karangkobar, Nyi Fataimah, ibu Gafur, tinggal dalam sebuah rumah yang punya empat kamar. Para tetangga mengatakan bahwa Gafur dan istrinya menyusup ke rumah ibunya segera setelah matahari tenggelam, dan tinggal di sana sampai matahari terbit.
Ikhtisar
Sekarang, kita telah mempunyai alat untuk mengembuskan napas kehidupan ke dalam sebuah feature apa pun, bahkan yang paling biasa. Penerapan alat-alat berupa pelukisan atau deksripsi, anekdot, kutipan, dan fokus akan kian lama kian bertambah baik melalui pengalaman.
Gaya individu Anda sendiri akan berkembang, terutama atas dasar kesukaan Anda dalam pemilihan kata-kata, dan dalam formula Anda sendiri untuk mencampur deksripsi, anekdot, dan kutipan.
Pengaruh jangka panjangnya adalah mengembangkan satu gaya penulisan yang menarik pembaca pada seluruh cerita, yang akan membuat pembaca tergiur baik pada bahan cerita maupun pada gaya Anda yang terampil.
Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Institut Tempo, 2007.