Ini Perbedaan Feature Berita dan Feature Human Interest
DALAM bagian terdahulu di blog ini, pernah dijelaskan, kalau feature bisa mengandung unsur berita maupun tidak. Feature Berita adalah feature yang terpengaruh unsur waktu, yang berhubungan dengan peristiwa hangat (aktual) yang menarik perhatian masyarakat.
Feature Human Interest tidak punya nilai aktualitas yang ketat. Biasanya ia tidak cepat lekang oleh unsur waktu. Ia tidak memberikan informasi mengenai kepentingan umum yang vital.
Feature itu hanya mengimbau rasa ingin tahu pembaca tentang manusia lain, atau tentang soal-soal yang jadi perhatian bersama, misalnya hewan piaraan, hal-hal aneh, atau ironi sejarah.
Mari kita teliti cerita-cerita yang sudah kita baca dalam bagian terdahulu di blog ini.
1. Penyapu jalanan di malam hari
Ini cerita human interest, karena secara khusus ia membicarakan watak aneh seorang wanita tua yang menyapu jalanan pada 02.00. Wanita itu tidak melanggar hukum, tindakannya hanya berpengaruh pada beberapa orang, ia bukan korban kejahatan.
Pendeknya, yang dilakukannya tidak layak dijadikan berita. Tapi ceritanya yang menarik jelas pantas dimuat surat kabar. Kadang-kadang hanya ada batas yang sangat tipis antara feature human interest dan feature berita.
Sehari setelah wanita itu membantu penangkapan pencuri, wartawan akan sudah menulis feature berita, dengan menekankan peranan wanita itu dalam mencegah terjadinya pencurian tadi malam.
Karena angle beritanya cepat “habis”, usaha pencurian bukan berita lagi setelah tiga pekan, maka peristiwa itu hanya disebutnya sepintas.
2. Operator jembatan gantung
Bila tidak ada kerusakan berat pada jembatan itu, misalnya sampai rubuh bersama operatornya, tidak ada newspeg (cantolan berita), maka cerita tentang pria yang 40 tahun bekerja tanpa ada yang pernah memperhatikannya itu merupakan feature human interest saja.
3. Bencana pada museum
Ini feature berita, karena menekankan pada satu hal yang menyangkut orang banyak tapi tidak mereka ketahui: bahwa museum berada dalam ancaman untuk ditutup karena tidak ada dana.
Penekanan cerita pada kehadiran anak-anak dan binatang di museum itu adalah teknik penulisan feature human interest yang klasik, dan kalau tekanan ceritanya tidak pada soal kesulitan uang, cerita itu sendiri sudah merupakan bahan feature human interest.
Marilah kita amati feature berita dan feature human interest.
A. Feature Berita
Contoh khas penciptaan feature berita: Kepala Biro Tempo di Surabaya mendapat laporan dari reporter di Mataram bahwa terjadi gempa bumi hebat diikuti tsunami di Pulau Flores.
“Korban ditaksir 1.500 orang, ratusan rumah hancur, gedung sekolah, kantor pemerintah, dan gereja, semua ambruk,” begitu laporan singkat sang reporter.
Mendengar ini, Kepala Biro Tempo Surabaya segera menugasi reporter di Mataram tadi segera berangkat ke Flores. Seorang reporter lagi diterjunkan dari Surabaya membantu peliputan bencana alam itu.
Di Flores, kedua wartawan yang berkejaran dengan deadline itu berusaha meliput dengan lengkap. Inilah laporan mereka:
Sabtu lalu, lepas tengah hari, sekitar pukul 13.29, empat kabupaten di Nusa Tenggara Timur diguncang gempa, bak beras diayak keras-keras dengan nampan. Hancur porak poranda oleh gempa berkekuatan 6,8 skala Ritcher (di lembaga geofisika di Strasbourg, Perancis, tercatat 7,5 skala Ritcher).
Sekitar 60% bangunan di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, retak atau sama sekali ambruk. Beberapa jembatan patah dan lalu lintas terputus. Tiang telepon dan listrik sebagian tumbang. Kegiatan ekonomi mandek. Maumere praktis mati dan penuh tangis duka.
Bencana gempa ini masih ditambah lagi dengan hantaman gelombang laut tsunami yang menelan ratusan korban manusia. Pulau Babi dan Pulau Pamana Besar di lepas Pantai Maumere tiba-tiba diterjang gelombang laut, menyapu seluruh muka dua pulau kecil berpenduduk sekitar 2 ribu orang itu.
Hampir semua penduduknya tersedot air. Tak cuma itu, gelombang hebat tsunami masih merayap sejauh 300 meter ke Pantai Maumere, menggasak perkampungan nelayan miskin.
Yang mengerikan adalah soal jumlah korban jiwa. Menurut laporan, sampai
awal pekan ini sudah 1.500 orang tewas. Dan angka ini menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Geologi Bandung, adalah korban gempa tektonik terbesar di Indonesia. (Kiamat Di Siang Hari, TEMPO, 19 Desember 1992).
Kedua reporter itu segera mengumpulkan berbagai informasi dari polisi, saksi-saksi, dan peninjauan ke lokasi bencana. Setelah pengumpulan yang cepat itu, satu reporter tetap berada di tempat kejadian, menyaksikan petugas pencari korban mengais-ngais puing bangunan dan longsoran tanah untuk mencari jasad manusia.
Reporter kedua berangkat ke rumah sakit untuk bicara dengan korban-korban yang bisa diselamatkan dan keluarganya. Reporter yang berada di tempat kejadian mencari berita, sedangkan kawannya berusaha menguber satu feature tentang tragedi kemanusiaan.
Reporter yang merencanakan sebuah feature, mencari keterangan dari kepala rumah sakit Maumere, dan selanjutnya mencari keterangan dari para suster yang bertugas di sana.
Dia menemukan cerita tentang seorang bayi laki-laki berusia tujuh bulan yang terdampar di Pantai Maumere dalam keadaan hidup, sehari setelah gempa-tsunami yang dahsyat tadi.
Dengan jerih payah kedua reporter itu, penerbitannya bisa menghasilkan feature dan berita. Mereka, selain membuat berita, juga menghasilkan suatu “laporan sampingan” berupa feature tentang seorang bayi laki-laki yang selamat dari gempa laut dan badai tsunami yang dahsyat.
Bila ada bencana, wartawan kawakan sering secara naluriah mencari feature berita. Maksudnya untuk menerjemahkan berita keras dan dingin menjadi sesuatu yang mudah dicerna manusia.
Bencana selalu mempunyai sisi dramatis, dan sisi dramatis sebuah tulisan berita biasa tidak akan pernah mengalahkan sisi dramatis yang bisa diungkapkan oleh sebuah tulisan feature.
Ketika gempa laut tadi melanda dan membunuh banyak orang, dan banyak orang pula kehilangan tempat tinggal, si wartawan biasanya memperoleh fakta-fakta dingin yang tidak bisa bercerita:
Menurut laporan, sampai awal pekan ini sudah 1.500 orang tewas. Dan angka ini, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, merupakan jumlah korban gempa tektonik terbesar di Indonesia.
Dalam berita keras ini, penderitaan manusia dan kematian hanya diturunkan secara dingin lewat semacam statistik. Pengaruh bencana ini tidak bisa dilukiskan oleh berita “lurus” semacam itu.
Reporter yang menyaksikan akibat bencana seperti itu segera mencari feature pendamping untuk menerjemahkan akibat bencana dalam bentuk yang memungkinkan pembaca ikut menghayati penderitaan yang terjadi.
Kisah tercecer di celah bencana alam Flores ini menyangkut seorang bayi laki-laki berusia tujuh bulan. Bayi yang terdampar di Pantai Maumere itu ditemukan oleh Kristina Perre pada tanggal 15 Desember lampau, sehari setelah gempa dahsyat itu.
Suster Rumah Sakit Umum Dr. Millers ini langsung merawatnya. Karena tidak diketahui siapa orang tuanya, para suster sepakat memberi nama anak itu: Imanuel Christian.
Suster Kristina merawat Imanuel dengan kasih sayang sebagaimana layaknya kehangatan seorang ibu. Maklum, ia belum punya anak sehingga berniat membesarkan si bayi malang itu.
Dan ketika Presiden bersama Ibu Tien Soeharto menjenguk ke rumah sakit umum itu, beliau menyatakan tertarik menjadi ibu angkat Imanuel. Dikabarkan pula, Ibu Tien akan membawa anak tersebut keJakarta. (Berebut Bayi Gaya Flores, TEMPO, 20 Maret 1993).
Dengan cara ini, pembaca diantar masuk menyaksikan akibat sebuah bencana besar, melalui kisah bayi laki-laki yang memilukan itu. Dengan memakai pendekatan feature berita, reporter itu telah memenuhi tugas yang harus dilakukan setiap wartawan:
Dia telah memberi informasi kepada pembacanya, dengan menyinari kebenaran fakta itu sehingga pembaca bisa mengerti dan menghayatinya.
Tidak ada reporter yang kebal terhadap perasaan sebagai manusia. Dalam mencari dan menulis cerita semacam itu, bahkan wartawan kawakan yang paling berkepala dingin pun terpaksa berjuang menahan emosinya, paling tidak sampai tugasnya selesai.
Untuk menulis feature berita dalam keadaan kacau seperti itu, diperlukan profesionalisme yang tinggi dari seorang wartawan yang berdedikasi dan berpengalaman.
Dalam reportase semacam itu, wartawan sering diumpat sebagai orang yang tidak sensitif (peka), atau dituduh mengeksploitasi tragedi untuk tujuan profesional. Tapi, ingat, reporter yang “tidak sensitif” dan polisi yang “berhati dingin” pun sering terpaksa menyapu air mata dari pipinya.
Tapi feature berita tentulah tidak selamanya mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan saja. Feature berita bisa juga ditemukan pada saat-saat pekan raya atau pertandingan olah raga. Reporter sering ditugasi mengumpulan “cerita warna-warni” untuk pelengkap laporan berita atau olah raga.
Contoh tentang anak yang baru pertama kali menonton pekan raya asasnya adalah cerita warna-warni. Bentuk feature ini bisa mengandung unsur berita atau tidak, tapi itu sangat bergantung kepada suatu kejadian yang menarik perhatian masyarakat, dan harus segera ditulis sebelum minat masyarakat menghilang.
Di situ reporter tidak memusatkan perhatian pada peristiwa utamanya (pekan raya), tetapi berusaha menangkap perasaan dan tingkah laku aneh para pengunjung.
B. Feature Human Interest
Feature ini mungkin yang paling lazim. Kebanyakan penulis feature human interest yang baik adalah orang yang mencintai orang. Mereka menggemari hal-hal yang aneh dan memanfaatkan hal-hal ini untuk dijadikan cerita dengan cara mengamati dan menulisnya.
Penulis-penulis seperti itu mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh “jalanan” seperti bartender, pelacur, pencopet, pemabuk, dan pemakai obat bius. Hubungan semacam itu sering membuat reporter menjadi sasaran kecurigaan.
Meski demikian, reporter tidak selalu harus mengambil risiko dengan menembus lingkungan yang kasar itu untuk mencari berita human interest. Perbedaan antara feature berita dan feature human interest sebenarnya tidak begitu jelas. Ada cerita-cerita yang bisa digolongkan ke keduanya.
Feature human interest biasanya merupakan studi tentang sifat manusia, yang berkembang dari pengamatan dan inisiatif reporter. Sedangkan feature berita membutuhkan kemampuan reporting yang baik, yang telah menjangkau setiap bentuk cerita, yang mana saja, seraya diuber oleh tekanan deadline.
1. Lukisan Suasana
Untuk cerita Tempo, sering dituntut agar reporter berhasil menangkap pengaruh suatu peristiwa, atau situasi, dengan mengamati dan melaporkan suasana hati (mood) orang-orang yang terlibat di dalamnya. Corak ini berusaha mengolah kata-kata secara baik, seperti yang dilakukan fotografer untuk menghasilkan gambar yang baik.
Misalnya, pada contoh di bawah ini, bagaimana wartawan Tempo melukiskan persahabatan seorang anak manusia dengan segala isi rimba Hutan Sibaganding, tak jauh dari Danau Toba di Pulau Samosir, Sumatera Utara:
Sembilan tahun keluarga Umar Manik tinggal di Hutan Sibaganding, tak jauh dari jalan raya di daerah pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara. Mereka bersahabat dengan segala isi hutan, terutama monyet.
Mereka bahkan bisa berkomunikasi dengan kawanan monyet itu. Dengan terompet khasnya dari tanduk kerbau, Manik memanggil sahabat-sahabatnya, para monyet, untuk pesta makan kacang.
Kenapa Manik memilih hidup di hutan? Wartawan Tempo mendatangi keluarga yang kini justru jadi aset pariwisata itu.
Tottrowtrowuee.............Marikkati tuson Hatop mijur tuson Asa mangan hita. Tottrowtrowouee....Bunyi tottrowtrowouee itu adalah suara terompet dari tanduk kerbau yang ditiup Umar Manik, 36 tahun.
Suaranya panjang dan melengking tinggi bergelombang. “Ini namanya serunai perang,” kata lelaki berambut panjang itu, dan karena itu sering disebut dia mirip Tarzan.
Serunai perang? Tentu saja tak ada perang di Hutan Sibaganding, delapan kilometer dari Parapat di tepi Danau Toba di Sumatera Utara itu. Tetapi mungkin tak berlebihan kalau Manik dijuluki Tarzan Sibaganding karena ia punya hubungan spesial dengan binatang.
Menyusul tiupan terompet yang panjangnya sejengkal itu, Manik pun berteriak ke arah hutan belantara dalam bahasa Batak yang terjemahannya: “Ayo, berduyun-duyun kemari, cepat turunlah ke sini, kita mau makan, lo...tottrowouee....”
Itulah yang dilakukan Manik berulang-ulang memanggil ratusan monyet yang berdiam jauh di dalam hutan lebat itu. Urat leher Manik tampak bagai kawat yang menonjok di antara telinga dan bahunya.
Maklum, tiupan terompet tersebut rasanya mencapai dua atau tiga oktaf jika dibandingkan dengan dunia tarik suara. (Tarzan Dari Sibaganding, TEMPO, 23 April 2004).
Dalam cerita ini penulis menganggap tidak penting identifikasi para korban. Ia hanya ingin agar pembaca menghayati cerita sebagai satu keseluruhan.
2. Profil Pribadi
Leonardo Da Vinci melakukan pekerjaan yang hebat dengan menghasilkan tokoh lukisannya, Monalisa. Tapi Monalisanya toh terkungkung oleh kanvas. Monalisa tidak bisa berinteraksi dengan berbicara, berjalan dengan lenggang tertentu, tertawa renyah, atau menggigit bibir bawahnya bila sedang gugup. Bagaimana pun kuat ekspresi wajahnya, ia tetap beku.
Penulis yang baik bisa menangkap perwatakan lebih kena (dalam tulisannya) daripada yang bisa dilakukan seorang pelukis dalam kanvas. Penulis bisa menggambarkan suatu subyek dari setiap seginya yang bisa diketahui, setiap jenis tindakan, dan menangkap ciri-ciri halus yang menyebabkan subjeknya bisa ditampilkan sebagai manusia yang unik.
Pengarang besar adalah penulis deskriptif, pandai melukiskan watak. Tokoh-tokoh novel karya John Steinbeck, misalnya, begitu hidup, hangat, dan manusiawi. Menyadari kekuatan besar yang dimiliki kata-kata, reporter harus mengerahkan kepandaian reportasenya untuk membuat satu artikel mendalam, artikel Profil Pribadi.
Profil pribadi adalah cerita mendalam tentang seseorang, sebuah cerita yang mampu menangkap inti kepribadiannya. Profil pribadi adalah seni jurnalistik yang menangkap seorang manusia dalam bentuk tulisan di atas kertas.
Wartawan menghadapi dua hambatan yang tidak dialami oleh seniman maupun pengarang novel.
1. Subjek wartawan adalah orang yang benar-benar ada, yang bisa marah bila wartawan salah menulis. Sedangkan pelukis paling-paling hanya kehilangan honorarium bila yang dilukis tidak puas pada lukisannya.
Bila wartawan membuat kesalahan serius, ratusan ribu pembaca akan mengetahuinya, dan salah-salah ia bisa diajukan ke pengadilan. Penulis cerita khayalan tidak pernah dimusuhi subieknya. Sebab, subjeknya hanyalah rekaan pengarang sendiri.
2. Pelukis hanya terbatas pada apa yang dilihatnya. Ia tidak menangkap orang secara keseluruhan. Penulis cerita khayal dibatasi oleh khayalan dan kepandaiannya saja. Ia bisa beberapa bab untuk mengembangkan tokoh-tokohnya.
Wartawan surat kabar sebaliknya harus menangkap perwatakan itu dalam ruangan yang lebih terbatas. Ia tidak boleh berlama-lama mengembangkan segi-segi yang menarik, karena pembaca adalah makhluk yang tidak sabaran, yang segera pindah ke artikel lain, atau ke layar kaca!, bila tulisan yang sedang dibacanya tidak berjalan cepat.
3. Reporter tidak bisa berpanjang-panjang mempersiapkan pentas untuk tampilnya seorang tokoh. Sedangkan pengarang James Michener bisa dengan santai, tapi efektif, menghabiskan 100 halaman untuk membentuk satir setting (latar) sebelum memperkenalkan tokoh manusianya yang pertama.
4. Wartawan surat kabar harus segera terjun ke dalam sang tokoh, menggaet minat pembaca dengan penekanan pada bagian yang menarik dari subyeknya.
C. Riset sebelum Menulis Feature
Sebelum menemukan kata pertamanya, reporter mungkin berpekan-pekan melakukan riset, mengamati subyek dari berbagai sisi, berbicara dengan kawan-kawan, musuh-musuh, dan kerabatnya. Ia mungkin ikut makan siang dengan subyek di rumahnya, sambil mencatat.
Sering, banyak riset yang sudah dilakukan reporter sebelum ia menemukan ide untuk menulis profil pribadi. Seorang wartawan polisi, misalnya, menjadi sangat kenal dengan kepala polisi karena kerja mereka sehari-hari.
Wartawan itu mendengar banyak cerita tentang kepala polisi itu dari perwira lain. Ia pernah melihat bagaimana keadaan perwira itu tatkala berada dalam tekanan berat. Ia mengetahui humornya yang khas, yang membuat perwira itu menjadi manusia yang unik dan menarik.
Tiba-tiba, suatu hari, si wartawan melihat kepala polisi itu dalam kemungkinan lain: calon tokoh dalam sebuah artikel profil pribadi. Reporter itu telah dilengkapi dengan pengamatan dan anekdot yang terkumpul selama ia berada dalam posnya di kepolisian.
Tapi ia baru melihat kepala polisi itu di kantor, belum pernah di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Bahkan di kantor pun, reporter belum pernah melihat bagaimana perwira itu menangani tumpukan kertas rutin tugas-tugas administrasinya, belum juga memperhatikan bagaimana hubungan timbal-balik perwira itu dengan perwira terdekatnya di balik pintu tertutup.
Selama beberapa hari, wartawan itu harus “membayangi” kepala polisi untuk melengkapi gambaran bagaimana orang itu sesungguhnya, bagaimana sifat-sifat yang tidak pernah ditampakkan perwira berumur 60 tahun ini, seorang yang selalu senyum di depan kamera, cepat menghardik ba wahannya atau siapa saja yang berani membuat ia jengkel.
Memang tidak ada wartawan yang membawa-bawa daftar isian dalam mengamati seseorang. Tapi ia harus waspada terhadap sejumlah ciri. Daftarnya, kalau harus disusun, kira-kira begini mengenai deskripsi ciri-ciri fisik.
1. Raut mukanya: hal apa atau bagian mana yang paling bisa memberikan gambaran tentang penampilannya itu? Apa yang menonjol? Apakah mukanya rapi, bersih, dagunya panjang, hidungnya melengkung mancung? Bagaimana pandangan dan gerak matanya? Tajam, lembut, mengantuk? Bagaimana mulutnya? Berbibir tebal, lebar?
2. Gambaran kulitnya: putih, cokelat, atau kuning pucat, sawo matang?
3. Apakah rambutnya tebal dan berminyak? Atau sudah mulai menipis di bagian tertentu? Warnanya apa? Bagaimana potongan rambutnya: potong pendek tentara, atau disisir di tengah?
4. Bagaimana ukuran tubuhnya? Berapa tinggi dan berat badannya? Apakah perut sudah mulai meluas melebihi ikat pinggang? Atau dia berotot, ramping dengan tulang menonjol, liat, atau menggembrot?
5. Macam apa pakaian yang dikenakannya? Warna apa yang digemarinya? Apakah ia menyukai warna gelap atau cerah? Ia menyenangi potongan model baju atau celana mutakhir, atau model yang ketinggalan zaman? Celana cutbrai, baju kerah lebar?
Apakah gadis itu memakai pantolan gombyor atau miniskirt? Apakah ia sering berkebaya? Apakah ia sering mengenakan dasi? Baju safarinya punya potongan khusus? Sering pakai topi?
Apakah ia memakai perhiasan? Dan apakah perhiasannya mengandung arti tertentu, misalnya salib? Apakah ia memakai kaca mata? Kalau ya, model apa? Kaus kaki apa yang dipakai? Bagaimana sepatunya, berkilat?
6. Kebiasaan dan tabiat: apakah ia merokok? Berapa banyak? Rokok apa yang disenangi? Atau ia suka rokok kretek, putih, atau cerutu? Atau pipa? Apakah ia sering menunjukkan gerak tertentu, misalnya mata kirinya selalu berkedip?
Bagaimana tangannya bila sedang pidato atau bicara? Diam saja di kursi, atau penuh gerak? Dilipat di belakang atau berkacak pinggang? Apakah ia suka menggigit bibir bawah atau kukunya? Apakah sportnya, bila ada.
7. Sikap badan bisa memainkan peranan penting dalam membuat gambaran. Apakah duduknya seenaknya di kursi, dengan bersender santai, atau tegak seperti tentara? Apakah jalannya tegap atau dengan kepala merunduk?
8. Suara dan percakapannya sering mengungkapkan karakter. Bagaimana volume suaranya? Melengking? Adakah aksen tertentu? Bagaimanakah irama bicaranya, cepat atau lambat?
9. Kesan fisik secara menyeluruh. Apakah ia mirip orang terkenal, misalnya Bung Karno, Titi Kadarsih, Dicky Zulkarnaen? Apakah sosoknya memang cocok dengan apa yang biasanya dibayangkan orang tentang seorang polisi, penyair, bupati? Bagaimana kepribadiannya?
Apakah ia kalem, agresif, kalau bicara bertele-tele atau pendek-pendek langsung ke sasaran? Bagaimana ia mengendalikan emosinya? Bagaimana berkomunikasi dengan orang lain? Bagaimana cita rasanyauntuk bercanda?
Apakah ia termasuk yang suka menertawakan diri sendiri? Apakah ia kelihatan garang hanya di depan umum, dan sebaliknya suka humor bila tidak di depan publik? Apakah ia suka cemas, keras kepala?
Apakah ia suka malu-malu? Atau selalu berbicara tentang dirinya sendiri, menyebut-nyebut keluarganya, masa kecilnya? Apakah ia suka bergerombol dengan teman-temannya, hangat, atau ia seorang penyendiri?
10. Penilaian terhadap kecerdasan dan kecakapannya
a. Bagaimana kawan dan lawan menilai kemampuan profesionalnya? Cemerlang atau lamban?
b. Di luar dinasnya, apakah ia seperti orang lain juga? Apakah ia seperti seorang genius yang suka lupa mengikat tali sepatunya? Apakah iaberhasil menjaga anggaran belanja di kantor tapi di rumah berantakan?
c. Apakah ingatannya cukup baik? Apakah ia seorang camat yang bisa mengingat angka-angka hasil panen pada 10 tahun sebelumnya? Apakah ia selalu harus menulis dalam buku catatan terhadap semua hal, termasuk soal-soal besar?
d. Apakah ia punya naluri profesional? Apakah polisi itu secara naluriah merasakan adanya tanda kejahatan atau bahaya? Apakah pengusaha itu bisa “merasakan” perubahan suasana bisnis yang tak kentara?
11. Latar belakang subjek
a. Hal-hal tentang kelahiran: kapan, di mana, serta nama dan pekerjaan orang tua.
b. Tanggal dan tempat tinggal subjek, dahulu.
c. Pendidikan.
d. Gelar.
e. Nama istri, tanggal kelahiran, umur anak-anak.
f. Pengalaman penting semasa anak-anak.
g. Tempat tinggal sekarang (kadang-kadang perlu deskripsi).
h. Pengalaman dinas.
i. Agama dan kegiatan keagamaannya (bila ada).
j.Prestasi keluarga (misalnya: profil tentang seorang anggota keluarga
Kennedy perlu latar belakang selintas mengenai apa yang dicapai keluarga itu).
k. Laporan kronologis mengenai karier subyek.
12. Anekdot dan bahan-bahan gambaran
a. Subjek menceritakan peristiwa kehidupannya yang menarik, informatif, dan mendalam.
b. Kawan dan keluarganya menceritakan anekdot tentang si tokoh.
c. Rekan seprofesi menceritakan anekdot dan kesan pengamatannya.
d. Lawan memberikan anekdot dan kesan pengamatannya.
13. Status sekarang: mengapa ia menjadi perhatian publik
a. Apa yang sesungguhnya ia kerjakan? (jabatan dan penjelasan).
b. Bagaimana ia melaksanakannya?
c. Bagaimana orang-orang menilai penampilannya?
d. Apa kekecewaan dan kebanggaan yang diperolehnya selama dalam kerja
itu?
e. Apakah ia senang terhadap pekerjaannya?
f. Anekdot tentang pekerjaannya.
14. Impian
a. Apakah yang ia kerjakan kini sesuai dengan apa yang dicita-citakannya? Bila tidak, apa sebenarnya impiannya semula?
b. Apakah ia ambisius? Apa saja ambisinya?
c. Apa yang diharapkannya dan ingin didapatnya dari hidup ini?
15. Lingkungan
a. Bagaimana dan seperti apa kantornya? Apakah ada gambar keluarga di sana?
b. Apakah kantor dan mejanya teratur rapi?
c. Benda-benda menarik apa saja di mejanya? Patung? Buku sastra? Asbak gading?
Daftar sepanjang itu memang tidak praktis, kecuali untuk tujuan ilmiah,
karena beberapa alasan:
a. Sukar merumuskan watak manusia dengan daftar isian seperti itu, yang tidak mungkin meliputi segala aspek. Mungkin aspek yang paling lembut yang membikin si subyek menjadi unik juga luput.
b. Bisa menghasilkan tulisan yang seragam untuk macam-macam tokoh. Padahal, setiap cerita profil pribadi harus ditulis dengan gaya khusus untuk menggambarkan orang itu secara efektif.
c. Dengan mengikuti mati-matian daftar isian di atas, wartawan akan membuang waktu mengumpulkan detail yang tidak diperlukan, yang tidak dengan sendirinya membantu dalam penulisan.
Maka, anggap saja daftar isian itu sebagai ilustrasi untuk mengetahui apa yang perlu dikumpulkan. Kadang-kadang ada detail yang hilang, yang kita abaikan selama berhari-hari. Belakangan baru kita tahu ada yang kurang.
Sementara mencari bahan untuk menulis profil seorang polisi yang disegani, kita, misalnya, berulang-ulang datang ke kantor polisi untuk berbincang-bincang dengan perwira itu dan mencari detail kunci yang kita rasakan masih kurang.
Selama percakapan itu, kita lihat potret seorang ulama yang bermata tajam, seolah-olah sedang mengamati polisi itu dari posisinya di atas lemari. Itulah potret ayah si polisi. Dengan “menyentuh” potret itu, kita pun akan segera mencatat ketika polisi itu bercerita tentang pengaruh ayahnya yang begitu besar.
Walaupun daftar isian di atas berguna untuk mengingat-ingat apa saja yang harus diketahui, kita tetap mencoba melintasi data “permukaan” dan masuk untuk menemui seorang manusia yang hidup.
D. Rambu-rambu Menulis Profil Pribadi
Setelah bergumul berhari-hari dengan subjek, wartawan memenuhi notesnya dengan kutipan, anekdot, pengamatan, dan informasi lain tentang hampir setiap segi yang bisa dipakai untuk melihat si subjek.
Mengorganisasikan sekian banyak bahan itu adalah suatu kerja keras, termasuk membuat kerangka, memotong-motong, memoles, menulis ulang, dan menulis ulang lagi.
Tapi, jangan lupa: menulis profil pribadi memerlukan sentuhan artistik. Jangan pelit memakai anekdot. Ingat, anekdot adalah mutiara bagi cerita. Dalam profil pribadi, anekdot juga memperkaya pengetahuan kita tentang suatu karakter.
Ikhtisar
Setelah bekerja keras untuk penulisan seperti ini, wajarlah bila reporter “menengok kembali” jerih payahnya dan cerita yang dihasilkannya dengan mengajukan pertanyaan: Apakah jerih payah itu berharga? Apakah saya berhasil menulis cerita itu?
Sukses dalam penulisan feature sering sulit ditentukan. Bila tokoh dalam profil ini memberikan pujian pada penulis setelah tulisannya dimuat, mungkin wartawan itu berhasil hanya dalam memuji-muji tokoh itu. Bila si subjek marah, mungkin reporter berbuat kesalahan berat, atau hanya karena wartawan itu jujur, menulis apa adanya.
Ukuran terbaik, barangkali, dalam menentukan nilai dan validitas suatu tulisan adalah membaca tulisan itu perlahan-lahan dengan kaca mata seorang pembaca. Bila, menurut ukuran Anda, pembaca memperoleh wawasan dan penghayatan tentang si subjek, maka cerita itu boleh dikatakan berhasil.
Khususnya untuk Tempo, profil pribadi ini dulu biasa ditemui dalam rubrik “Tamu Kita”, dan belakangan, “Sosok”. Namun, dalam rubrik lain pun selalu diperlukan lukisan cukup tentang tokoh peristiwa yang kita ceritakan. Pegangan dasar untuk penulisan profil pribadi tetap bisa dipakai.
Pastilah bahan-bahan yang terkumpul tidak semuanya perlu ditulis atau dimuat, tapi penting sekali untuk dokumentasi. Siapa tahu tokoh Anda tiba-tiba suatu hari muncul sebagai tokoh yang mengguncangkan tanah air atau dunia. Siapa tahu.
Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Institut Tempo, 2007.

