Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ternyata, Denny JA Pernah Diminta Ibunya Menyanyi di TV


DENNY Januar Ali atau Denny JA tidak hanya pintar menulis kolom dan puisi, tapi juga seorang yang relijius, inspiratif, dan kaya raya. Denny, tulis Dr Satrio Arismunandar, pimpinan redaksi koran online Orbit, adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang punya uang Rp 1 triliun.

"Denny is The Trillion Litterateur," ucap Satrio, aktivis dan jurnalis alumnus UI itu. Meski tajir, Denny adalah sosok yang sederhana.

Jonminofri, teman dekat Denny di Kelompok Studi Proklamasi (KSP) pernah membisiki aku. Sampai hari ini, kata Jon, makanan favorit The Trillion Writer itu, masih ayam goreng KFC.

Tapi Denny tidak pernah mengajak teman-temannya ke resto cepat saji KFC, jika kangen junk food itu. Ia datang ke sana sendirian untuk menikmati resto favorit kenangan masa mudanya.

Namun bila mengajak makan teman-temannya, Denny memilih resto eksklusif di hotel bintang lima atau resto mahal lainnya.

Anick HT, aktivis kiri dan penulis buku Kuburlah Aku Hidup Hidup, mengapresiasi Denny dari sisi keluasan hatinya. "Luas dan dalamnya hati Denny seperti samudra," ujar Anick.

Denny nyaris tak pernah marah. Ia tak pernah membalas caci maki orang yang ditujukan kepadannya. Jika anda mendengar bagaimana penyair jorok Saut Situmorang mencaci maki Denny, mungkin anda akan bilang "terlalu".

Penyair wanita Fatin Hamama marah sekali mendengar cacian Saut terhadap Denny. Tapi Denny sendiri menghadapinya dengan senyum. Itulah sebabnya, kata Anick HT, Denny seperti nabi.

Ia kaya, punya pengaruh, dan mampu menggilas para hater-nya. Tapi semua itu tak dilakukan Denny. Ia diam dan senyum melihat tingkah laku para pembencinya itu (yang, misalnya, membakar boneka mirip Denny dan menginjak-injak buku karya Denny di TIM, Jakarta).

Anehnya, kata Fatin Hamama, bila sang hater yang keterlaluan itu rumahnya roboh atau tak mampu membayar biaya rumah sakit, Denny langsung merogoh koceknya.

Takut si hater tak mau kalau diberi uang oleh Denny, ia pun menitipkannya untuk si "musuh" kepada teman dekat pembencinya. Dengan pesan, jangan beritahu kalau bantuan ini dari Denny.

Aku kenal Denny sejak 1985, usai lulus UGM, dan kerja di Jakarta. Saat itu, aku diundang Mas Djohan Effendi (Mensesneg era Gus Dur) penulis buku Pergolakan Pemikiran Islam (Catatan Ahmad Wahib) ke rumahnya di bilangan Jalan Proklamasi, Jakpus, untuk mengikuti diskusi sekelompok anak muda dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta.

Di situ ada Denny, Jonminofri, Budhy Munawar Rachman, Elza Peldi Taher, Jojo Raharjo, Rina Inez, Halimah Munawir, Agus Santoso, dan lain-lain.

Upps! Meski Denny dekat dengan Mas Djohan Effendi, intelektual muslim yang hidup sederhana dan aktif dalam diskusi keislaman, pria kelahiran Palembang 4 Januari, 60 tahun lalu itu, berseberangan dalam pilihan hidupnya.

Mas Djohan memilih hidup asketis. Denny memilih hidup tajiris. Alasannya, jika tajir, Denny bisa berbuat banyak untuk kemanusiaan dan pengembangan literasi serta intelektual di Indonesia. Kini, Denny membuktikan keberhasilan dari pilihannya itu.

Bagi sutradara teater Isti Nugroho, Denny adalah Promotheus yang anomalis. Dalam cerita Yunani Kuno, Promotheus adalah pencuri api milik Dewa Zeus. Ia tidak takut terhadap hukuman dari Dewa Zeus karena pelanggaran fatalnya itu.

Zeus takut, bila Promotheus memiliki api (simbol duniawi) manusia akan sengsara. Karena itu, Dewa Zeus menghukum Promotheus. Tapi Promotheus melawannya: siap mati di tangan Zeus demi api yang dicurinya.

Orang kaya itu serakah, destruktif, dan kejam, kata Isti. Tapi aku bersaksi Denny, sang pencuri api, bukan orang yang serakah dan kejam seperti yg dikhawatirkan Dewa Zeus. Denny adalah Promotheus yang bersahabat dengan aktivis kiri. Aktivis antikapitalis.

Tak banyak yang tahu, Denny kecil yang "anak mama" itu adalah pengagum Einstein dan Hawking. Ia jago matematika dan pecatur andal sejak usia dini. Meski demikian, ibunya Denny yang renta tetap merasa sang tajiris adalah anak yang belum berhasil.

Kenapa? Denny belum pernah tampil menyanyi di tivi seperti Rhoma Irama. Itulah sebabnya sang Bunda sebelum wafat minta satu hal yang sulit dipenuhi Denny: menyanyi di TV.

Untuk memenuhi keinginan ibunya, Ia minta temannya membuatkan video saat Denny menyanyi. Lengkap dengan iringan musisi dengan background stasiun TV. Ketika video itu diunggah di tivi layar lebar, ibunya bersorak.

"Denny kamu berhasil muncul di tivi sedang menyanyi," ujar ibunya senang sekali. Sepanjang hidupku, baru kali itu dia benar-benar berhasil membahagiakan ibu, kata doktor public policy dari Ohio State University itu.

Jika ibunya menginginkan Denny menyanyi di tivi, berarti sang Bunda tahu betul potensi suara Denny. Dengan suara yang bariton dan menggema, Denny memang layak menjadi penyanyi berkelas. Selevel Broery Pesolima dan Bob Tutupoli.

Dalam satu episode hidup Denny, ada hal yang sangat menarik. Waktu muda, di usia 20-an, Denny sering kali mengalami ekstase spiritual. Ini cerita Denny. Tetiba dadaku bergetar.

Dia tak sadarkan diri. Dari mulut terucap kata-kata yang saat itu tak dipahami. Kondisi Denny mirip orang kesambet seperti Cak Nun. Berbicara sendiri tanpa kendali.

Bedanya, jika Cak Nun yangg kesambet menghina Jokowi, Denny kesambet puisi. Dalam ketidaksadarannya, dari mulut Denny keluar bait-bait puisi.

Begitu Denny sadar, baru tahu, setelah membaca catatan temannya, apa yang diucapkannya dalam kondisi ekstase itu, adalah puisi yang sangat indah. Sangat relijius.

Pengalaman Denny mungkin seperti peristiwa yang terjadi pada Maulana Jalaludin Rumi di abad 13 atau Neale Donald Walsch di abad 21. Rumi dan Walsch seperti "nabi" yang menyalurkan kata-kata Tuhan melalui ekstase spiritualnya.

Maulana Jalaludin Rumi bukan nabi, kata Sir Mohamad Iqbal, penyair legendaris Pakistan itu. Tapi Rumi, lanjut Iqbal, mempunyai kitab suci Masnawi. Seperti halnya Rumi, Denny pun menulis ribuan bait puisi dan esai inspiratif yang mirip Masnawi.

Setelah membaca puisi yang tercipta dalam kondisi tak sadarkan diri itu, Denny menangis. Lihat matahari, menangis. Lihat burung, menangis. Lihat apa pun, Denny menangis.

Kesadaran universal memenuhi dadanya. Denny merasa dirinya adalah bagian yang tak terpisahkan dari seluruh ekosistem, baik mikro maupun makrokosmos.

Semesta sepertinya sedang menunjukkan kepada Denny, bahwa kehidupan yang sebenarnya bukanlah yang ia lihat melalui matanya. Tapi kehidupan yang ia rasakan di hatinya. Yang penuh penuh suara Tuhan.

Seperti kata Rumi. "Aku mencari Tuhan di mana-mana. Di sinagog, di gereja, di masjid, dan di vihara. Tak ada Tuhan di sana. Ternyata Tuhan ada di hatiku."

Peristiwa ekstase spiritual yang dialami Denny di tahun 1980-an itu, kini ia mampatkan, lalu ditransformasikan menjadi energi intelektual.

"Biarlah itu pengalaman masa lalu. Aku akan menggumuli dunia intelektual," ujar Denny. Meski demikian, hampir tiap malam Denny mengaku berdialog dengan Tuhan.

"Tiap malam aku menangis menghadap Tuhan," ujarnya. Sepekan sekali di Puncak, Denny uzlah. Di sana, Denny zikir dan jakir. Diam berzikir dan jalan sambil zikir di vilanya yang asri.

"Aku lebih percaya pada dunia intelektual," ujar penulis buku puisi Atas Nama Cinta itu. "Karena dunia masa depan adalah dunia intelektual. Dunia sains. Dunia riset. Dan dunia algoritma," lanjut pendiri LSI Denny JA itu.

Suatu ketika, di tahun 1996, Denny yang mengagumi Garry Kasparov tersungkur. Ia kaget setelah juara catur nomor satu dunia dari Rusia yang tak terkalahkan itu menyerah pada komputer yang dijejali otak artificial intelligence (AI).

Saat itu Denny memprediksi: AI adalah otak manusia masa depan. Dugaan Denny 27 tahun lalu ternyata benar. Kini AI telah benar-benar mengalahkan otak manusia.

Di tahun 2022, misalnya, Denny melihat komputer bisa melukis dengan otak AI. Kemampuan melukisnya lebih hebat dari Picasso, Affandi, dan maestro dunia lainnya. Tak hanya itu. AI sudah bisa membuat puisi, ceramah agama, menulis karya ilmiah, dan lain-lain.

Cerita Denny, ternyata dia mampu menyelesaikan satu lukisan hanya dalam 10 menit dengan bantuan AI. Kritikus dan kurator seperti Agus Darmawan T yang melihat karyanya, menilai lukisan Denny bagus. Seperti pelukis sungguhan.

Padahal ia melukis dengan perangkat AI. Kini berbagai aplikasi AI sudah dibuat manusia. Ini memungkinkan orang membuat "manusia mesin" dengan otak AI. "Kita adalah homo sapiens terakhir," ucap Denny.

Di masa datang, ada tiga tipe manusia. Manusia full mesin seperti bionic. Manusia hibrida, campuran mesin dan daging, serta sisa-sisa manusi kuno hasil evolusi homo sapiens.

Denny berharap bisa hidup sampai usia 120 tahun untuk menyaksikan perkembangan spesies homo artificial intelengensis, menggantikan homo sapiens yg punah dihantam teknologi AI.

"Jika umurku 120 tahun, ujar Denny, aku akan meninggalkan legasi: karya-karya tulisan dan lukisan yang inspiratif. Aku berharap, orang mengenalku sebagai penulis inspiratif yang memberi suluh kehidupan. Seperti para nabi dan sufi," katanya.

Lalu bagaimana agama? Agama kelak akan menjadi dongeng, ungkap Denny. Tokoh-tokoh agama yang sekarang dipuji, nanti akan jadi legenda seperti Hercules dan Sangkuriang.

Kitab suci, hanya menjadi kumpulan puisi dan dongeng yg tersimpan di rak-rak buku, lemari arsip, dan library. Tak mengapa. Agama dan tokoh-tokohnya, lanjut Denny, tetaplah penting meski telah menjadi dongeng.

Sebab, seperti kata sejarawan Yuval Noah Harari, dunia bisa maju seperti sekarang berkat adanya dongeng yang imajinatif. Dongeng Buroq, misalnya, membuat manusia terinspirasi menciptakan pesawat ruang angka. Dongeng perahu Nuh membuat manusia terpacu menciptakan kapal induk.

Saat ini, kata Denny, sudah ada 4.000 agama lebih. Mulai dari agama yang menyembah tuhan Elvis Presley sampai yang menyembah tuhan Google. Tidak mengapa. Karena manusia butuh Tuhan.

Dalam peta genetik homo sapiens, kode-kode ketuhanan ada dalam DNA manusia. Yang terpenting, semua rasa ketuhanan yang ada dalam diri manusia berujung pada tujuan yang sama.

Menghargai manusia, membuat penduduk bumi damai, dan menjadikan masyarakat adil sejahtera. Tuhan sejati dalam bentuk personal maupun impersonal pasti mendukung manusia yg ingin menciptakan sorga di bumi.

Usaha dan kerja untuk kemanusiaan dan perdamaian di sorga bumi adalah ibadah terbaik bagi manusia saat ini. Pahalanya triliunan kali lebih besar dari ibadah ritual di sinagog, gereja, masjid, dan vihara.

Selamat Ultah ke-60, Bro Denny JA. Semoga semua makhluk di bumi berbahagia. (Syaefudin Simon)