Siapa Karna Wijaya, Dosen UGM yang Diduga Melakukan Ujaran Kebencian kepada Ade Armando
PRIA yang disebut dosen UGM, Karna Wijaya, menjadi pembicaraan di media sosial karena diduga telah melakukan ujaran kebencian kepada Ade Armando yang dikeroyok di aksi 11 April 2022 di sekitar gedung DPR RI. Pihak UGM akan memanggil yang bersangkutan untuk dimintai keterangan.
Dilansir dari detikJateng, akun Twitter @MurtadhaO*** yang menemukan unggahan, diduga dari Karna Wijaya, berisikan ujaran kebencian (ada kata sembelih). Ada kolase foto yang disebut ujaran kebencian kepada Ade Armando, diduga oleh Karna Wijaya, tapi sekarang sudah hilang.
Kabag Humas dan Protokol UGM, Dina W Kariodimedjo mengatakan, kampus telah mengetahui soal kasus tersebut. Pihak UGM akan memanggil yang bersangkutan. "Kami ingin menginformasikan, UGM memiliki Dewan Kehormatan Universitas yang akan menindaklanjuti dugaan pelanggaran etika," katanya kepada wartawan, Minggu (17/4/2022).
Muncul di Facebook dan Twitter mengenai siapa sebenarnya Karna Wijaya, termasuk istrinya, Titik Nurchasanah. Keduanya disebut-sebut sebagai pasangan radikalis yang menyusup di UGM, tanpa terdeteksi sejak lama.
Menurut penulisnya, nama Karna Wijaya yang sedang naik daun itu, ternyata memang memiliki kaitan dengan radikalis. Ikatannya jauh lebih kuat dari yang terlihat di permukaan. Orang ini memang pandai menyembunyikan masa lalu.
Padahal, jejak intoleransi dalam dirinya dimulai ketika dia mahasiswa. Ada seorang mentor bernama Syahirul Alim. Orang ini adalah pentolan DI/NII (Darul Islam/Negara Islam Indonesia), yang di zaman Orde Baru sudah berpangkat Amir.
Syahirul Alim pada 1983 adalah dosen kimia F-MIPA UGM. Orang-orang yang saat itu sezaman dengannya tahu sepak terjangnya, termasuk kedekatannya dengan Karna Wijaya.
Orang yang mengangkat Syahirul Alim bernama Abdullah Sungkar, pengurus Al-Irsyad Solo. Dia adalah rekan Abu Bakar Ba’asyir, seorang Wahabi yang dianggap sebagai mentor dari banyak radikalis di tanah air.
Di zaman Orde Baru, aktivis NII banyak yang ditangkap. Sungkar dan Ba'asyir kabur ke Malaysia, tapi jaringan NII tidak pernah mati. Tempo hari ada kabar, ribuan orang di Sumbar jadi angota NII.
Itu membuktikan, jaringan ini terus menjalar. Bahkan, Karna sekarang beradadi universitas ternama, dan selama bertahun-tahun tidak ada yang mengendusnya.
Orang ini menikah dengan seorang perempuan, Titik Nurchasanah, seorang pembenci Jokowi tulen. Ia juga mendukung demo untuk "menjungkalkan" presiden. Kata-katanya pedas.
Titik menyebut Ade Armando dengan sebutan tikus. Kemudian diralatnya menjadi babi. Kata-katanya tidak cocok dengan jilbab besar yang dikenakannya. Titik memang tidak pantas mewakili kelompok manapun.
Pakaian tidak otomatis menunjukkan perangai seseorang. Tapi mestinya, sebagaimana kata orang Jawa, ajining raga saka busana, maka busana itu mestinya mencerminkan kehormatan pemakainya.
Titik memang beda, baik ucapan maupun pakaian tidak mencerminkan dirinya. Titik yang ditampilkan kepada publik adalah Titik yang beringas dan kejam. Titik yang tidak memiliki perasaan welas asih.
Karna Wijaya dan istrinya ini mengelola rumah makan Joglo Engking di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Konon, ini adalah salah satu fundrising kelompoknya. Info lebih lanjut masih dikorek lebih dalam.
Tapi belakangan, begitu ketahuan perangai pemiliknya. Netizen menyerbu Joglo Engking dan memberikan bintang satu. Sebagaimana suaminya, sang istri ini memiliki pola pikir anarkis.
Kata-kata yang dikeluarkan benar-benar tak pantas. Perempuan terdidik, apalagi yang dicap salihah, pastinya tidak akan berbuat demikian. Yang membuat tak habis pikir, kenapa orang seperti Karna Wijaya ini bisa menjadi profesor di UGM?
Bukankah jejaknya bisa ditelusuri sebelumnya? Kalau keturunan PKI saja bisa dilacak, kenapa orang-orang yang berafiliasi dengan NII tidak? Bukankah mereka jauh lebih bahaya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menabrak tembok sSebab untuk menjadi profesor, seseorang harus benar-benar bersih dari anasir berbahaya. Apalagi, Mensesneg Pratikno mantan rektor UGM sebelumnya. Sedikit-banyak tentu bisa memberikan gambaran.
Tapi itulah faktanya. Karna Wijaya bisa lolos dan memiliki kewenangan yang besar di salah satu universitas ternama. Kasus ini perlu ditelusuri lebih dalam. Pasti ada banyak jaringan Karna Wijaya di UGM.
Dia bukan aktor tunggal. Kasus Ade Armando akhirnya membuka topeng banyak orang. Bahkan mereka yang selama ini dianggap sebagai pejuang kemanusiaan. Dalam kasus pengeroyokan itu, mereka bisa-bisanya menutup mata dan menyalahkan Ade yang kata
mereka memancing kebencian.
Opini tidak layak dibalas dengan kekerasan. Mereka yang hatinya tertutupi kebencian pada Ade Armando, tidak menggunakan logika dengan baik. Mereka tidak mendukung pengeroyokan, tapi juga menyalahkan Ade Armando.
Ini namanya bersifat permisif terhadap pelaku kekerasan. Istilahnya victimizing the victim. Seperti menyalahkan korban perkosaan karena pakaiannya. Apa bedanya mereka dengan radikalis berbaju profesor bernama Karna Wijaya dan istrinya.
Sumber: di sini.