Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerita Dosen Undip Semarang Negatif Covid karena Rajin Minum Sambiloto

AKHIRNYA menjawab request teman-teman yang telah merasakan khasiat sambiloto untuk penyembuhan maupun pencegahan Covid-19 dan supaya saya tidak selalu mengulang cerita, saya menepati janji bercerita pengalaman saya.

Kisah awal mula mengenal sambiloto. Sekitar 10 tahun lalu, saya mengalami haid yang sangat banyak seperti orang keguguran. Parah sehingga seringkali lemas nyaris pingsan.

Atas saran teman alumnus S3 Unair Angkatan 2008, Agus Sulistyono Ucok, saya periksa ke dokter kandungan dan kuret untuk diagnosis. Hasilnya, hiperplasia endometrium. 


Banyak alternatif terapi untuk kelainan yang sering pada 4F (kalau nggak salah Female, Forty, Fat, fertile) tapi saya memilih terapi natural dan menghubungi teman seangkatan FK Undip 89, alumnus S2 Herbal UI : Dr Prapti Utami MSi.

Prapti Utami memberi saya tiga kapsul herbal : kunir putih, pegagan dan sambiloto. Saya suka lupa minum, bolong-bolong seingetnya. Hingga saat itu, ada wabah virus yang gejalanya merah-merah di kulit, gatal clekit-clekit dan jari-jari bengkak. Kalau pakai cincin sulit dilepas.

Sakit saya itu bareng haid yang sangat banyak, sehingga baru inget minum kapsul herbal. Setelah minum tiga jenis kapsul herbal itu, dalam 30 menit,  seluruh badan gatal clekit-clekit luar biasa, terutama di kulit yang merah (karena infeksi virus).

Wah, gatalnya luar biasa, tidak tertahankan. Tetapi setelah reda, merah-merah di kulit berkurang diameternya, semakin mengecil dan badan terasa nyaman.
Saya penasaran, dari 3 kapsul herbal itu, mana yang mempunyai efek terhadap lesi atau merah di kulit.

Saya coba satu-satu kunir putih, pegagan dan sambiloto. Ternyata jawabannya ialah... SAMBILOTO. Maka saya minum sambiloto untuk mengatasi infeksi virus itu. Tentu saja, dengan perjuangan menahan rasa gatal dan clekit luar biasa setiap minum sambiloto.

Tetapi, ajaib, infeksi virus/lesi merah di kulit dengan cepat reda dan menghilang. Saya minum sesuai dengan siklus obat antivirus, minum tiap 5 atau 6 jam. Asisten di rumah yang tertular infeksi virus, saya beri sambiloto, dan cepat sembuh.

Sejak saat itulah saya menyadari, sambiloto punya efek antivirus dan mulai saya sediakan di rumah. Setiap badan kerasa enggak enak, meriyang, greges-greges, linu, yang curiga infeksi virus atau influenza, saya dan keluarga minum sambiloto 2 kapsul.

Biasanya flu reda atau tidak jadi flu. Jadi, sudah sekitar 10 tahun, selalu ada stok sambiloto di rumah.

Kemudian pengalaman saya dalam menggunakan sambiloto untuk infeksi virus/penyakit lain dimulai ketika ada residen yang sakit flu tulang (chikungunya) yang parah. Saya beri sambiloto dan sembuh.

Ada orangtua residen yang sudah sembuh dari flu tulang bertahun-tahun yang lalu, tetapi masih linu di sendi tidak sembuh dengan berbagai terapi. Saya sarankan minum sambiloto, dan hilang nyerinya, tidak kambuh lagi.

Kemudian analis lab di kantor, sudah menikah hampir 3 tahun, belum punya anak. Suaminya TNI, dinas di Papua dan terkena infeksi malaria yang sering kambuh parah. Akhirnya saat balik ke Semarang, dirawat di RST karena sakit parah, malaria dan hepatitis.

Saya teringat jurnal/publikasi rekan-rekan di Unair, sambiloto merupakan terapi malaria, maka saya bawa sambiloto ke RST dan Alhamdulillah suami analis saya berkenan minum sambiloto. Malaria sembuh dan hingga saat ini tidak kambuh lagi.

Disusul kabar gembira, beberapa bulan kemudian analis lab saya hamil anak pertama. Anugrah setelah sang suami terbebas dari malaria dan hepatitis. Colek Rizky Dyas Afriyana.

Setelah itu saya pernah menggunakan sambiloto pada anak saya yang sakit cacar air, teman yang sakit DHF, kerabat yang sakut herpes, anak teman yang hepatitis dan lainnya.

Intinya saya sarankan pada sakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Bagi saya itu bagian dari ikhtiar. Saya tidak menyarankan untuk meninggalkan obat medis yang diberi oleh dokter yang merawat.

Saya hanya sampaikan, bila berkenan minum sambiloto, beri jarak paling tidak 1 jam dari obat medis. Alhamdulillah, yang minum sambiloto, merasakan efek yang positif.

Saat era pandemi Covid, saya agak rajin lagi minum sambiloto. Sebagai suplemen daya tahan tubuh. Sampai suatu hari saya mendapat kabar, sahabat saya, sesama dokter spesialis Patologi Klinik, diantar ambulans dirujuk dari RSUD ke RSUP Dr Kariadi Semarang karena terinfeksi Covid.

Beliau sudah pensiun, pernah pasang stent (ring) jantung, hipertensi dan profil lipid jelek. Paniklah saya. Saya sangat cemas dan takut kehilangan teman saya tersebut. Saat itu awal pandemi Covid. Belum banyak yang paham dan terapi saat itu juga masih meraba2 karena jenis virus baru.

Saya nekat mengirim sambiloto. Titip ke perawat ruang isolasi. Saat itu ruang isolasi sangat ketat, petugas dengan hazmat lengkap, tertutup berlapis2 dan hanya masuk ruang isolasi pada jam2 tertentu. Alhamdulilah, bisa titip sambiloto ke perawat saat operan jaga dan.

Alhamdulillah, sahabat saya koq ya manut, menurut, minum sambiloto, sesuai anjuran saya. Saya deg-degan setiap hari memantau kondisi sahabat saya, dan,  alhamdulillah tidak ada gejala berat dan swab negatif dan boleh pulang. Bahagiaaa rasanya.

Sejak itulah saya menyarankan, dan membagikan sambiloto ke teman-teman yang terpapar Covid. Bagian dari ikhtiar pengobatan. Beberapa berkenan minum, sebagian tidak yakin dan tidak mau minum dan beberapa baru mau minum sambiloto setelah kehilangan keluarganya.

Berdasar testimoni teman yang minum sambiloto, yang Covid positif tanpa gejala maka hasil swab evaluasinya cepat menjadi negatif. Bila ada gejala, maka gejalanya tidak berkembang menjadi parah dan kemudian perlahan gejala hilang dan sembuh.

Ada dua testimoni bahwa ada pasien yang perlu plasma konvalesen, namun sebelum mendapat terapi plasma konvalesen minum sambiloto, kondisinya membaik dan batal mendapat terapi plasma konvalesen.

Ayo, ayoo teman-teman, yang sudah minum sambiloto atau merekomendasikan sambiloto ke temannya silakan komen testimoninya ya. Saling share pengalaman untuk informasi ke yang lain.

Oh ya, enggak lengkap dong, ceritanya kalau saya tidak cerita pengalaman/testimoni saya sendiri.

Akhir Desember 2020, berawal dari suami dari salah satu teman sejawat (dokter) di tempat kami terkonfirmasi positif Covid. Maka dilakukan tracing ke teman saya dan keluarganya yang ternyata konfirm positif.

Dilanjut tracing ke dokter lain dan residen yang selama ini kontak erat.
Hasilnya mengejutkan. Dari 11 residen yang ditracing, 10 orang hasil swabnya positif covid.

Saya sebagai KPS rasanya langsung lemes, prepet-prepet rasanya kaget mau pingsan. Panik banget, memikirkan residen sedemikian banyak yang positif. Langsung saja koordinasi untuk isolasi mandiri.

Yang rumah di Semarang dan rumah memungkinkan isolasi mandiri, maka isolasi mandiri di rumah, sebagian isolasi mandiri di Hotel Kesambi, sebagian (dengan koordinasi satgas Covid)  isolasi mandiri di Diklat Srondol.

Satu orang langsung masuk IGD dan rawat inap oleh karena banyak komorbid (obese morbid, hipertensi, diabetes dan dislipidemia, kos sendirian).

Setelah beres urusan isolasi mandiri rombongan besar itu, barulah saya sadar, selama ini residen bersepuluh itu 'mengerubuti' saya. Bahkan, pada hari mereka diswab, seharian dari pagi sampai sore mereka bersama,

Mereka dan saya menyelesaikan hasil bone marrow aspiration, konsul di mikroskop multiokuler bareng-bareng (pakai masker, tapi di ruangan tertutup) dan diskusi sampai sore jam 17.00, karena menjelang cuti bersama tahun baru.

Hasil lab harus segera keluar, esok paginya. Positif. Gubraag. Semua mata tertuju ke saya. Residen waswas memikirkan saya. Daan ... saya langsung ditelepon petugas satgas Covid RS untuk besok paginya swab PCR.

Deg-degan. Sambil menunggu jadwal swab, saya periksa rapid antigen di lab swasta. Hasilnya negatif. Ayem dan.. takjub. Keesokan paginya swab PCR di IGD RSUP Dr Hariadi. Hasil swab PCR pertama, negatif. Hasil Swab kedua.. negatif.

Tentu heran dan takjub serta bersyukur. Saya sempat bercanda ke residen. Untung saya negatif, kalau saya positif, tentu semua orang berpikir dosennya nulari mahasiswanya. Nggak ada yang berpikir bahwa mahasiswa2nya lah yang rame2 menulari dosennya?

Tadinya saya enggak 'ngeh' kenapa saya negatif. Tetapi, saat saya waswas menunggu hasil PCR, beberapa teman WA saya, testimoni bahwa mereka selama ini hasil swab negatif walaupun selalu kontak erat dengan pasien atau saudara yang positif.

Bahkan, ada yang tim analis lab yang bertugas swab dan PCR hasil swab rutin negatif, ada 2 yang positif dan yang dua itu, adalah yang tidak minum sambiloto.

Salah satu residen saya bertemu usai saya swab pertama. Hasil swab dia negatif, sedangkan sahabat yang stase bareng positif (karena mudik Natal). Residen yang negatif itu cerita bahwa dia minum sambiloto, sesuai anjuran saya.

Alasannya sepele "saya takut koq, Dok. Saya punya asma, padahal stase di Labkesda yang tugas bantu swab dan ngerjakan PCR, jadi saya minum sambiloto seperti anjuran dokter". Lhaaa... ternyata dia negatif saat sahabatnya, teman makan bareng, positif.

Anak-anak saya malah mengejek saya... "ibu itu koq masih meragukan sambiloto padahal selalu anjurkan orang minum sambiloto'. He he. Testimoni berlanjut dengan teman saya dan anaknya yang hasil rapid antigen dan swab PCR negatif padahal istrinya positif.

Juga sopir saya dn anaknya yang rapid antigen negatif padahal istinya positif. Si istri itu tidak minum sambiloto, di saat suami dan anaknya minum sambiloto.
Istri itu kemudian minum sambiloto dosis pengobatan selama 4 atau 5 hari.

Hasilnya,, rapid antigen negatif. Bos dari istri teman saya tidak percaya kalau bisa cepat negatif. Besok pagi dijadwalkan swab PCR, kita tunggu hasilnya ya, he he.

Kembali ke 11 residen saya yang positif covid. Mereka kemudian minum sambiloto. Saya tidak memaksa mereka minum sambiloto. Saya cuma sarankan minum sambiloto sebagai ikhtiar.

Kalau nggak mau ya gak papa, karena saya malah jadi punya pembanding, bagaimana kesembuhan respon sambiloto pada kelompok yang minum sambiloto dibanding yang tidak minum sambiloto. Lhaaa, ternyata nggak ada residen yang enggak minum sambiloto. Mereka semua memilih minum sambiloto.

Dan, deg-degan saat swab evaluasi pertama. Hasil swab PCR, negatif. Semua residen lega bahagiaaa, termasuk yang dirawat di RS juga hasil swab evaluasi pertama langsung negatif.

Semua orang tanya, apa rahasianya koq semua serentak langsung bisa negatif? Bagi saya, minum sambiloto ialah bagian dari ikhtiar.

Dulu sempat ingin meneliti dan sudah sempat ke Lembaga Molekuler Eijkman untuk penjajagan riset karena untuk pembuktian efek anti virus harus kultur virus dan dipaparkan dengan sambiloto.

Tapi perjalanan hidup saya telah mengalihkan saya dari bidang keilmuan imunologi ke hematologi sehingga ide tersebut pupus. Saat ini teknologi lebih canggih dan riset virus bisa dilakukan penelitian in silico.

Riset awal juga membuktikan khasiat sambiloto untuk penanganan COVID-19.. Silahkan googling : sambiloto (Andrographis panniculata) dan COVID-19 atau SARS-CoV-2.

Oh ya, tentu saja... minum sambiloto tidak berarti membuat kita mengabaikan penanganan yang paling utama dari COVID-19 : 5M

Menjaga jarak
Memakai masker
Mencuci tangan
Menghindari kerumunan
Mengurangi mobilisasi

Karena hal itu sangat penting untuk mencegah penyebaran virus dan membantu agar pandemi segera reda atau berakhir. Semoga tulisan ini bermanfaat buat kita semua.

Terima kasih untuk para sahabat yang memotivasi dan mendorong saya untuk menuliskan cerita saya ini.

Semarang, 16 Januari 2021
Nyoman Suci Widyastiti
Dosen dan dokter dari FK UNDIP Semarang    
Sumber : WA Group

Auto Europe Car Rental