Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Berdoa dan Belajar Bersama di Kota Lumpia Semarang

LAST January. Matahari masih mengintip malu-malu saat bapak ibu guru berkumpul di halaman sekolah, Jumat (31/1/2020). Tampak tak biasa. Kali ini tak memakai seragam tapi berbaju merah. Menenteng beberapa barang pribadi. Berjalan menuju bus pariwisata yang terparkir di tepi Jl Ngagel Madya Surabaya.

Rombongan bapak ibu guru itu berjumlah 42 orang. Siap bertolak ke Jawa Tengah dalam kegiatan Ziarah Rohani. Bus melaju dengan kecepatan tepat pukul 06.00 WIB,  melalui ruas jalan tol Trans Jawa dengan tujuan Kabupaten Semarang.


Sempat beristirahat sejenak di daerah Klero, tepatnya di rumah salah satu ibu guru, yaitu Ibu Fransiska Retno Kuntari atau Bu Siska. Kami disambut hawa sejuk khas dataran tinggi dan senyum hangat keluarga Bapak Stefanus Harjoko dan Ibu Maria Martinah.

Kami berbincang ditemani teh ginastel (legi, panas, kenthel) khas Jawa Tengah yang sulit ditemui di Surabaya. Setelah 30 menitan bersilaturahmi, kami pamit melanjutkan perjalan Ziarah Rohani kami ke Gua Maria Kerep Ambarawa.

Pukul 13.00, tiba di Terminal Ambarawa, berganti moda transportasi dari bus ke angkutan kota yang sudah kami kontak sebelum berangkat ke Ambarawa. Rombongan menuju Gua Maria dengan empat angkot.

Sesampai di Gua Maria, kami berfoto bersama dahulu di depan patung Bunda Maria Assumta di bagian depan kompleks ziarah. Sambil menikmati sejuknya udara di kaki Gunung Ungaran, kami melanjutkan  doa rosario bersama dengan membawa permohonan pribadi untuk didoakan dan dibakar di perabuan dekat Gua Maria.

Hujan sempat mengiringi doa kami, menambah dinginnya suasana Ambarawa siang itu. Kami lantas ke bagian lain dari Gua Maria Kerep Ambarawa yang menggambarkan tentang kisah-kisah alkitab. Hanya sebentar karena hujan deras mengguyur dan memaksa kami kembali ke angkot untuk ke Museum Kereta Api.

Hujan deras dan genangan air agak tinggi harus kami lalui sepanjang perjalanan dari Gua Maria ke Museum Kereta Api. Hal itu tak menyurutkan keinginan kami mengetahui sejarah perkeretaapian di Indonesia melalui gambar dan artefak kereta api yang terpajang di museum tersebut.

Selain membaca sejarah perekeretapian di Indonesia, kami berfoto di lokasi tersebut karena artefak kereta api ini cukup unik untuk dijadikan background foto. Setelah puas, kami ke Eling Bening, sebuah dataran tinggi di daerah Bawen.

Gerimis masih menemani hingga tiba di tempat sejuk ini sekitar pukul 15.00 WIB. Dengan berpayung sendiri atau berdua, kami menuju spot khas tempat ini, yaitu perahu naga. Dari sini, bisa menikmati pemandangan Rawa Pening, danau air tawar yang terletak beririsan antara Bawen, Ambarawa, Tuntang dan Banyu Biru.

Suasana sore itu sungguh memesona. Ada gerimis dan kabut yang turun walau tak terlalu tebal. Beberapa saat kami berfoto di situ sambil menikmati cantiknya dataran tinggi Kabupaten Semarang. Tak lama, semua sudah sudah siap masuk bus yang akan membawa kami meluncur ke kota Semarang melalui tol Trans Jawa.


Estimasinya 60 menit sampai tapi harus molor 90 menit karena kepadatan di pintu keluar tol Banyumanik, arah masuk kota Semarang. Kami lupa kalau perjalanan kami masih di hari kerja dan baru menjelang weekend. Banyak kendaraan yang baru saja pulang kantor.

Tepat pukul 17.30 WIB, kami tiba di gerbang Lawang Sewu. Kami ingin bergegas masuk karena enggan bergelap-gelapan. Sayang sekali kami tak mendapatkan spot foto dan suasana yang oke saat malam menghampiri. Hanya sempat berfoto bersama dan meminta bantuan seorang tour guide menemani menjelajah gedung peninggalan Belanda itu.

Banyak dari kami yang baru tahu kalau gedung Lawang Sewu ini berkaitan dengan sejarah perkeretaapian di Indonesia, ditambah setiap sisi bangunannya mengandung filosofi tersendiri dan fungsi sistematis yang membuat kami berdecak kagum.

Kami dibawa hingga lantai paling atas. Fungsi sebenarnya sebagai  plafon. Saking luasnya bisa untuk bermain bulu tangkis. Luasnya plafon konon untuk  sirkulasi udara agar gedung tetap sejuk. Sebaliknya, di bagian bawah gedung dibangun sejenis bunker berisi air agar kelembaban udara di gedung terjaga.

Selain itu, sistem pembuangan, perairan dan parkir di gedung ini  tertata dengan baik saat gedung ini masih aktif. Ini membuktikan Lawang Sewu dirancang dengan pemikiran tingkat tinggi. Konstruksi bangunan tak perlu diragukan lagi. Meski mengalami beberapa revitalisasi tak mengurangi kekokohannya.

Penjelajahan kami di gedung berusia lebih dari satu abad ini usai saat waktu menunjukkan pukul 17.30 WIB. Kami mengakhirinya dengan berfoto kembali di miniatur kereta api di bagian depan gedung. Kota Semarang masih diguyur hujan dengan intensitas kecil hingga sedang. Kami  berjalan kaki menuju hotel yang tak jauh dari Lawang Sewu.


Halo Februari!
Hari pertama kami lalui dengan menikmati mentari pagi di Semarang. Masih dari kawasan Sekayu, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Agendanya, ke SMP Pangudi Luhur Domenico Savio, tak jauh dari hotel.

Pukul 07.55 WIB, bus memasuki halaman Katedral Semarang untuk parkir. Domsav (sebutan untuk SMP Pangudi Luhur Domenico Savio), ada di sebelah katedral dan bus kesulitan untuk masuk halaman Domsav, jadi harus parkir di halaman Katedral.

Masuk kompleks sekolah, disambut suasana asri. Banyak pohon besar di sekitarnya. Lalu, senyum ramah para guru, yang belakangan kami tahu bahwa mereka adalah wakil-wakil kepala sekolah. Kami diarahkan memasuki ruangan untuk bertemu dan saling belajar tentang kekhasan sekolah kami masing-masing.

Bersama Br Martinus Satriya Giri FIC atau yang akrab disapa Bruder Giri, kami diajak berkeliling kompleks sekolah yang terletak di kawasan Randusari. Sekolah yang berbatasan dengan Bruderan FIC dan SD Pangudi Luhur Bernardus ini, punya segudang prestasi baik akademik maupun nonakademik.

Dari Domsav, kami meluncur ke Kelenteng Sam Poo Kong di kawasan Bongsari. Cukup ramai karena akhir minggu. Kebetulan, berlangsung Lomba Drum Band antar-SD. Kawasan ini memang bukan hanya tempat peribadatan dan cagar budaya tapi sering menjadi tempat kegiatan warga Semarang karena areanya luas.

Kelenteng ini mengingatkan sejarah kedatangan Laksamana Cheng Ho di Pulau Jawa. Sayang tak semua kelenteng bisa diakses pengunjung karena ada yang khusus untuk peribadatan. Kunjungan di Kelenteng Sam Poo Kong berakhir pukul 15.00 WIB. Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke Solo.

Kulonuwun, Solo!
Kami sengaja mengagendakan perjalanan kami ke kota berslogan 'The Spirit of Java ini untuk mencicipi kulinernya yang beragam dan wisata batik yang memesona. Perjalanan agak terhambat ketika memasuki kota karena banyaknya wisatawan yang bertujuan sama.

Bus parkir di kawasan Galabo. Bapak ibu guru berkelompok pergi tujuan masing-masing. Ada yang belanja batik di Singosaren, ke warung nasi liwet, ke toko oleh-oleh atau hanya menikmati jalan Slamet Riyadi di sore hari.

Rasanya tak cukup hanya dua jam di Solo. Waktu membatasi karena kami punya beberapa agenda bersama keluarga dan kolega esok harinya. Tepat pukul 18.15 WIB, kami meninggalkan Solo menuju Surabaya melalui jalan tol Trans Jawa.

Syukur pada Tuhan, pukul 22.30 WIB, kami tiba dengan selamat di kompleks Sekolah Santa Clara. Banyak hal yang bisa kami pelajari di kegiatan ini demi pengembangan sekolah. (MM Verawati)


Naskah ini sudah tayang di Majalah DIAN TARA Edisi 16 Tahun 2020.
Auto Europe Car Rental