Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bobroknya Penanganan Covid-19 di Surabaya


DARI awal tentang rumah sakit dulu ya... tentang RS-RS rujukan yang menerima pasien dengan COVID-19 di Surabaya. Adanya total 15 RS. Tapi ga semua diciptakan sama.

Ada yang punya ventilator, ada yang tidak. Ada yang ICUnya siap untuk COVID-19, ada yang tidak. Ada yang kamarnya pakai exhaust, ada yang pakai angin jendela.

Nah, apes-apesnya pasien saja kalau ini. Kalau ke RS yang ga ada ventilatornya, ya kalau perburukan ga ada yang bisa dilakukan.

Bantuan dari Pemkot? Sejauh yang saya tahu baru ada 1 ventilator ke RS Husada Utama. Ke RS lain tidak tahu, ke RS saya tidak.

Untuk Pemprov Jatim sendiri, mereka sudah bangun rumah sakit (RS2) tambahan. Tapi ya gitu... agak tetot juga. Kenapa?

Jadi di RS2 dadakan ini pemeriksaannya ga lengkap. Okelah, kalau pemeriksaan yang sophisticated ga bisa, saya masih paham. Tapi kalau untuk menentukan pasien perburukan gangguan napas atau tidak aja tidak bisa, mau jadi apa?

Pemeriksaan ini namanya Blood Gas Analysis (BGA). Dia melihat kadar asam/basa darah kita, dan lazim digunakan untuk menentukan pasien perlu ventilator atau tidak.

Terus gimana? Rumah sakit dadakan ini akhirnya gbs menerima pasien yang berat, dan kalau mau rujuk ke sana kita kudu pastikan pasiennya ga menuju perburukan dengan cek BGA ini. Entah di sana bagaimana, hanya Tuhan yang tahu.

Rumah sakit udah, sekarang lab. Lab yang bekerjasama dengan kemenkes ada 3. Sisanya lab swasta, kalau cek di mereka ya siap2 kena > 1 juta.

Lab ini vital untuk menentukan apakah pasiennya kena COVID-19 atau tidak, tapi tahu apa yang terjadi? Tapi tidak menerima sampel baru selama libur hari raya.

Jadi, pasien baru dari tanggal 21 kemarin baru bisa di swab sekarang. Nunggu hasil kurang lebih 3-5 hari karena banyaknya sampel. Bisa2 pasiennya keburu meninggal hasilnya baru ketahuan.

Belum lagi kabar burungnya salah satu lab di Surabaya terkontaminasi dan karyawannya pada terinfeksi. Hohohohoho.

Kalau berita dokter-dokter dan nakes di RSUA? Kami sudah tahu dari 3-4 hari lalu cuma baru rame aja sekarang. Hihihihihihi.

Loh kalau gitu, apa yang dilakukan pemkot untuk nakes2 ini? Let’s say, close to nothing. Nada.

Kita dapet edaran tapi ga dibantu sama sekali dari pemkot. Dapetnya cuma dari pemprov. Terus pemkot ngapain? Ngurusin akun ga penting.

Eh lupa. Ada sih yang dikasih pemkot... yaitu...TELOR REBUS SAMA WEDANG JAHE. ANJIR GUE DISINI NGEHADEPIN PASIEN COVID BENERAN ELO CUMA KASIH GITUAN.

Dan ga semua suka jahe jadi ya sering-sering,  akhirnya terbuang ga guna. Padahal ya kalau kalian tahu tentang APD buat tenaga non-medis, bikin ngenes.

Kadang mereka perlu beli sendiri face shield, coverall spunbound. Cuma dikasih masker 1 lapis doang. Yang bilang APD cukup, itu ga mikirin mereka.

Akhirnya banyak yang sakit, bahkan positif COVID-19. Sek nanti kalau mood dah enakan tak lanjut lagi.

Sekarang kita bicara pemakaman. Pasien COVID prosedur pemakamannya khusus dan ribet. Di Surabaya, makam2 di sini hanya menerima pasien KTP Surabaya, atau yang ahli warisnya ber-KTP Surabaya.


Pemakamannya mahal, dan biaya yang diberikan Kemenkes tidak cukup untuk nombokin. Alhasil keluarga pasien kudu nambah. Besarnya beda-beda di tiap RS tp kisaran juta yang pasti. Masih logis tapi... kalau dari laporan pemulasara jenasah kami...

Ternyata petugas makam di Surabaya itu maunya cuma ngeduk makam terus nimbun. Ga mau tuh bantu-bantu ngangkat jenazah di dalam peti terus turunin ke liang lahat. Alhasil si bapak kudu sewa orang tambahan dan beban biaya ke pasien jadi lebih banyak.

O ya, COVID-19 ini bisa menular melalui mayat jadi memang prosedur ini dibutuhkan. Tapi ya gini ini masih ada yang ndablek lho.

Ada salah satu pasien di RS saya yang meninggal dengan suspek COVID-19 (later confirmed). Dia ini orang pesantren dan, minta dimakamkan di pesantrennya.

Dia sambil bawa surat persetujuan dari RT RW sekitar. Well terkait hal ini akhirnya kita telepon polisi untuk pengamanan, dan (sambil berharap) mereka punya power untuk mencegah hal-hal ini.

Eh, ternyata cuma dikawal terus dibiarin doang. Ga heran ada kasus jenazah dibuka di Sidoarjo kemarin.

Sebelum dapet hazmat yang bagus, kami di IGD malah pakai jas hujan. PS: Saya beli sendiri gownnya itu. Gerah cuy pakai jas hujan.

Sebenernya lebih ngenes kalau liat berita di Brasil. Cuma itu untuk next time, kalau saya lagi ga males translate satu2. Pure farce.

Sumber : Aditya C Janottama (@cakasana), 26 Mei 2020.
Disclaimer: saya dokter yang bekerja di salah satu RS rujukan di Surabaya. Informasi beberapa tidak bisa saya sebutkan sumbernya, tapi insyaallah valid.
Auto Europe Car Rental