Anakku Nyaris Terseret Pengajian di Kampus
SEBAGAI orang tua, saya sangat bangga ketika anak saya perempuan diterima di sebuah PTN ternama di Surabaya tahun 2015. Karena dia perempuan maka setiap berangkat kuliah, saya antarjemput sendiri setiap hari.
Pada masa awal kuliah semua berjalan baik-baik saja. Masuk bulan ketiga masa kuliah, anak saya mohon izin ikut kelompok pengajian di kampus. Saya berpikiran positif saja, maka saya izinkan tapi dengan syarat ketua kelompok pengajian harus ketemu saya di rumah.
Selang beberapa hari datanglah seorang perempuan berjilbab ke rumah. Kedatangannya minta izin mau mengajak anak saya aktif di kelompok pengajian yag dia adakan. Akhirnya saya izinkan anak saya ikut kelompok pengajian itu.
Dalam seminggu kelompok pengajian berkumpul 1-2 kali di Masjid Kampus. Setelah 1 minggu aktif, di kelompok pengajian, mulai ada yang aneh dalam pribadi anak saya. Dia sangat tekun salat 5 waktu dan sering berjilbab meski di dalam rumah.
Perilakunya mulai berubah dan sering mengkritisi ibadah orang tua dan saudaranya, tapi tetap saya biarkan dan ikuti terus apa maunya. Kemudian tempat kelompok pengajian mulai berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan jumlah peserta 5 - 10 mahasiswi.
Tetap saya ikuti dengan sabar. Masuk minggu kedua, kepribadian anak saya mulai berubah karena lebih fokus ke pengajian daripada kuliah. Saya masih sabar dan ikuti. Minggu ketiga, kelompok pengajian yang diikuti anak saya mulai diisi ceramah agama.
Sekilas saya melihat si penceramah bukanlah mahasiswi semester 1, karena penampilannya agak beda dengan yang lain. Karena saya menunggu di luar, samar-samar terdengar materi ceramah.
Tidak hanya masalah agama saja tapi sudah membicarakan kemayarakatan dan pemerintahan. Di sini saya mulai tidak nyaman, tapi saya mencoba bijak dan terdiam. Dalam hati saya mengatakan kelompok pengajian ini tidak baik.
Sebagai orang tua saya tetap berkewajiban membimbing anak saya. Setelah sampai di rumah mulai saya bicara dari hati ke hati dengan anak saya tentang pengajian yang dia ikuti. Semua hal yang baik sesuai agama saya terima dengan bijak.
Saya kaget ketika anak saya mulai bicara Khilafah. Sebagai orang tua saya harus tetap sabar. Pembicaraan akhirnya saya alihkan. Ke arah pendidikan.
Saya katakan dengan lembut kepada anak saya 'kamu pilih belajar ilmu umum sesuai keinginan dan cita-citamu atau kamu mau belajar ilmu agama'. Sambil tetap tenang saya sampaikan bahwa orang tua banting tulang buat biaya kamu kuliah agar kamu sukses.
Lama anak saya terdiam. Akhirnya sambil menangis dia menyatakan tetap ingin belajar ilmu umum sampe lulus nanti. Dari sini saya baru punya keberanian masuk lebih dalam bertanya kepada anak saya tentang kelompok pengajian itu.
Ternyata kelompok pengajian tersebut dimentori oleh orang **I. Selalu bergerak, dari satu kampus ke kampus lainnya, melalui kelompok kecil 5 - 10 orang. Mereka yang sudah fasih pemahamannya akan bertemu kelompok lain yang levelnya lebih tinggi.
Dan akhirnya akan dilibatkan dalam suatu kelompok pengajian umum dalam suatu acara dan tempat yang mereka tentukan.
Pembicara dalam ceramah umum menghadirkan orang-orang senior di **I. Di sinilah racun mulai ditebar kepada kelompok pengajian yang telah direkrut sebagai kader mudah dari kaum intelektual.
Tepat pada akhir minggu keempat, saya minta kepada anak saya untuk bertemu dengan temannya perempuan yang pernah datang ke rumah. Anak saya bersedia.
Besoknya saya temuai perempuan itu di sebuah Masjid di dalam kampus dan saya ajak dialog dari hati ke hati tentang anak saya dan kelompok pengajian itu. Dia saya giring agar mempertemukan saya dengan pimpinan di atasnya. Alhamdulillah bersedia.
Singkat cerita saya bertemu pimpinan atau senior dia di sebuah tempat. Terjadilah perdebatan antara saya dengan mereka (3 orang). Mereka menyerang saya dari sisi agama, tapi saya dengarkan saja.
Intinya mereka mengatakan "kami mengajar anak bapak ttg ajaran Khilafah". Di sini saya mulai geram, saya berdiri dan tatap mata mereka satu per satu.
Saya hormati kelompok pengajian ini, tapi tolong hormati hak saya sebagai orang tua mendidik anak saya dengan ilmu pengetahuan umum, bukan ilmu agama, karena anak saya kuliah di Pergurun Tinggi Negeri.
Mereka tetap ceramah agama di depan saya tentang Khilafah tapi tidak saya hiraukan. Lalu saya mencoba tenang, saya tanya satu per satu apakah mereka belajar di kampus yang sama dengan anak saya.Saya semakin emosi ketika ada salah satu yang menyatakan dia dari kampus yang berbeda. Di sinilah saya emosi. Saya maki-maki semuanya. "Kalian mahasiswa bajingan semua berani meracuni anak saya dng doktrin ajaran sesat".
Ayo tunjukkan kepada saya siapa pemimpinmu di sini? Akhirnya ada seorang pemuda, mungkin seniornya, mencoba meredahkan emosi saya. Dia mengatakan "Silakan anak bapak tidak ikut kelompok pengajian ini."
Akhirnya mereka minta ma'af kpd saya dan anak saya. Setelah kejadian itu, kelompok pengajian di Kampus anak saya tidak ada kegiatan. Tapi tetap saya pantau anak saya agar tidak didekati oleh kelompok mereka.
Sejak itu saya berpikiran bahwa (sangat mungkin) masih banyak Kampus PTN lain di seluruh Indonesia yang disusupi oleh orang-orang **I. Penkaderan ini sangat berbahaya karena merekrut anak-anak mahasiswa PTN yang memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata.
Alhamdulillah setelah tahun lalu lulus, anak saya sudah bekerja sesuai dengan cita-citanya.
Sumber : Bengkeltanah@Bengkeltanah1, 29 Mei 2020
Catatan : pengakuan ini boleh jadi benar, mungkin juga tidak tetap. Silakan berdiskusi dan memberikan tanggapan di kolom komentar. Berikan komentar yang konstruktif dan masuk akal. Di luar itu, admin akan menghapusnya.

