Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Dari Dollicious hingga Orderan Sepatu

MEMASUKI ebuah gang kecil, Ketua RT itu turun dari motornya. Suryono, yang sekaligus menjadi Ketua Paguyuban PKL Sentra Kuliner Putat Jaya tersebut membawa saya pada sebuah rumah. “Ini lho rumahnya,” kata Pak Suryono, sembari tangannya menunjuk ke rumah itu.

Rumah dengan lebar tiga meter dan memanjang ke belakang itu adalah milik keluarga Muktamar, salah satu dari sekitar 600 warga terdampak penutupan Dolly-Jarak. Sebelum penutupan Dolly-Jarak, Muktamar berjualan nasi goreng di depan Wisma Barbara.

Selama 5 tahun terakhir, sehari-hari ia bisa menghabiskan 6-7 kg beras. Namun sejak penutupan Dolly-Jarak, usahanya tidak bisa menghasilkan seperti dulu. “Semenjak Dolly tutup, dia keliling. Tapi ya itu, dua kilo beras nggak habis. Nggak bisa ngangkat sama sekali,” ujar Yanti, kakak dari istri Muktamar.

Usaha nasi goreng keliling Muktamar ini hanya bertahan selama dua minggu. Bagaimana tidak, setiap hari selalu ada nasi yang harus dibuang karena tidak habis terjual. Kini, Muktamar bekerja sebagai kuli batu di Balikpapan untuk menutup tanggungan keluarganya.

Seperti cicilan motor, biaya untuk kedua anaknya, dan sebagainya. Istrinya, Yuli, dulu menjalankan bisnis kreditan barang-barang rumah tangga. Setelah penutupan Dolly, Yuli hanya bisa berjualan roti bakar.

Sebelumnya, keluarga Muktamar sempat mendapatkan kesempatan untuk berjualan di Sentra Kuliner Putat Jaya binaan Kecamatan Sawahan. Mereka menjual penyetan dengan nama D’Khansa 86. Namun usaha itu juga tidak bertahan lama.

Dalam sehari, hanya 2-3 piring saja yang bisa terjual. Akhirnya mereka memutuskan mundur. Rencananya, Muktamar akan pulang ke Surabaya setelah melunasi cicilan motor yang menjadi salah satu tanggungannya.

Muktamar bukan satu-satunya warga yang kurang beruntung. Ada sebagian ibu-ibu yang berusaha bangkit. Ibu-ibu tersebut ikut tergabung sebagai penjual makanan di Sentra Kuliner Putat Jaya binaan Kecamatan Sawahan.

“Setelah dolly ditutup, ekonomi mati sama sekali. Kita seperti orang yang di PHK sepihak,” ujar Hariati, penjual nasi rawon. Perempuan berusia 49 tahun itu dulu berjualan nasi dan membuka kos-kosan di daerah lokalisasi Dolly.

Sebelum Dolly ditutup, penghasilan Hariati bisa mencapai 5-6 juta per bulan. Sekarang, bahkan hampir tidak ada yang masuk sama sekali. Sementara modal harus keluar terus-menerus. “Ini meskipun ibu bisa tersenyum, dalam hatinya itu menangis, tertawa itu hanya untuk menghibur diri,” ucapnya.

Hal serupa juga dialami perempuan penjual bakso, Sorga Itta, 45. Sebenarnya Sorga sudah beberapa kali mau mengundurkan diri, tapi ibu-ibu yang lain terus memotivasinya untuk tetap bertahan. “Mau tidak mau harus berusaha untuk menjadi tegar,” tukasnya.

Meski banyak ruginya, ibu-ibu tersebut mengaku masih mau melanjutkan usahanya di sentra kuliner ini. “Kalau banyak pengunjungnya, kalau memang ada yang beli, sampai jam berapapun kita mau layani, kita mau tunggu, wong kita kerja,” ucap  Lika, penjual soto daging.

Mereka hanya berharap Sentra Kuliner Putat Jaya banyak dikunjungi pembeli, supaya dagangan mereka laris. Selain itu mereka juga berharap lahan eks wisma di Dolly segera dibeli Pemkot agar kehidupan ekonomi di kawasan ini hidup kembali.

Inisiatif Pemkot Surabaya
Jauh hari sebelum penutupan, Pemkot telah melakukan sosialisasi penutupan sekaligus memberikan pelatihan kepada warga terdampak. Begitu kawasan esek-esek itu ditutup, sekitar 600 warga terdampak penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak, meliputi lima RW, yakni RW 3, 6, 10, 11 dan 12, mengikuti pelatihan kewirausahaan.

PT Terminal Petikemas Surabaya dan PT Wangta Agung menjadi pendukung kegiatan pelatihan tersebut. Pelatihan selama 15 hari itu melibatkan 80 warga di ring I (di kawasan lokalisasi) dan ring II (di sekitar lokalisasi).

Tidak hanya itu, pihak Pemkot melalui Dinas Sosial mengklaim telah melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan kembali perekonomian warga. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan puluhan warga terdampak di beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) milik Pemkot.

Beberapa SKPD yang akan memberdayakan warga terdampak penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak di antaranya, Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), Linmas (Perlindungan Masyarakat), Dinkes (Dinas Kesehatan), serta SKPD lainnya.

Pihak Pemkot juga menyalurkan 178 warga terdampak yang ingin bekerja di perusahaan swasta melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Apa lagi upaya terbaru yang dilakukan Pemkot bagi warga terdampak penutupan Dolly-Jarak?

Kabarnya Pemkot Surabaya juga berencana membeli tempat-tempat yang dulu digunakan sebagai tempat bisnis PSK dan mucikari. Salah satu yang sudah terrealisasi adalah Wisma Barbara, wisma paling terkenal di Gang Dolly.

Menurut media, Pemkot Surabaya telah membeli Wisma Barbara yang dulunya menampung hingga 250 orang PSK itu dengan harga 9 miliar. Kini, wisma enam lantai itu telah diresmikan sebagai fasilitas umum.

Sejauh pengamatan, dalam eks lokasi prostitusi tersebut telah ada pelatihan internet bernama Broadband Learning Center (BLC) dan sentra pembuatan sepatu. “Pelatihan komputer untuk warga setempat ini didukung oleh Telkom,” kata Mediar, pria yang bertugas sebagai trainer di BLC.

Di ruang lain pada lantai yang sama, sedikitnya ada 15 wanita yang hampir seluruhnya mengenakan kaos berwarna biru, sedang menjahit order sepatu dari Ardiles.

Di bagian belakang ruangan, terlihat sebuah tempat yang dulunya dikenal dengan sebutan ‘akuarium’, tempat para lelaki hidung belang memilih PSK yang disukainya. Kini tempat itu berubah fungsi sebagai gudang material dasar pembuatan sepatu.


Pelatihan dan pemberian kesempatan kerja hanya sebagian kecil dari upaya Pemkot Surabaya untuk merehabilitasi kawasan Dolly dan warga terdampak. Meski sudah banyak usaha, masih ada beberapa yang belum dapat menerima.

Seperti yang diungkapkan Endang, pemilik eks Panti Pijat Kalimantan yang lahannya ditempati Sentra Kuliner Putat Jaya binaan Kecamatan Sawahan. Perempuan 46 tahun itu mengeluhkan penutupan Dolly yang mendadak dan tidak didahului sosialisasi pada warga sekitar.

“Tempat pijat saya sebenarnya memang nggak ditutup, tapi sejak Dolly ditutup kan pengunjungnya jadi sepi, bahkan nggak ada, jadi ya mau nggak mau saya tutup sendiri, karena untuk pemasukan nggak ada tapi pengeluaran jalan terus,” paparnya.

Selain itu, Pemkot dinilai hanya memulai, tapi tidak mendampingi warga dalam usahanya. Pemkot tidak memberikan modal dan binaan yang cukup, terutama untuk Sentra Kuliner Putat Jaya.

Perempuan kelahiran Kediri ini juga mengungkapkan, Satpol PP terlalu sering melakukan penggrebekan di kawasan itu, sehingga warga tidak bisa hidup tenang. “Sekarang pun kalau orang jualan apa, itu hampir seminggu 2 kali digrebek sama Satpol PP. Orang kan ya mau hidup tenang, tidak sedikit-sedikit ada penggrebekkan,” ujarnya. (*)

Tugas : Teknik Mencari dan Menulis Berita (2014)
Oleh : Stephanie Vanessa (Fikom UK Petra)
Auto Europe Car Rental