Cerita Kaca Buram Istana (7-Tamat)
1. Sejak kolonel, SBY sudah memikirkan soal-soal besar kenegaraan.
2. Sejak kolonel, SBY (menurut dugaan saya yang bisa saja keliru) sudah menyimpan niat untuk memimpin Indonesia karena merasa dirinya tahu caranya dan mampu.
3. SBY sejak awal mengoptimalkan modal intelektual yang ia punya untuk belajar bagamana pemimpin berjaya dan jatuh. Ia respek pada Soeharto tapi kurang senang.
4. Via diskusi-diskusi dengannya, saya tahu SBY sangat pandai ‘mengemas’ dirinya untuk membangun citra baik. He is a master of impression management!
5. SBY senang membangun relasi intelektual dan memanfaatkannya secara optimal untuk meneguhkan sikap-sikapnya, tapi dengan kalangan yang sebetulnya lumayan terbatas.
6. Sebagai pribadi SBY menyenangkan, tapi jangan berharap ia mengungkapkan secara terbuka dan telanjang sikap-sikapnya. Sangat hampir selalu diplomatis.
7. Via diskusi-diskusi itu, saya tahu SBY adalah penghindar konflik, gandrung pada harmoni, dan karenanya cenderung menghindari risiko. Cendrung safety player.
8. SBY punya catatan negatif terhadap sejumlah orang tapi sangat pandai menyembunyikan itu dan tak mudah terpancing untuk bicara personal tentang siapapun.
9. SBY punya kemampuan komunikasi di atas rata-rata tapi bukan tipe pembicara publik yang pandai menggugah dan mengobarkan semangat. Cenderung datar.
10. SBY selalu berusaha keras berpikir tertib. Konsekuensinya, lumyan sulit diajak berpikir out of the box, apalagi dengan melawan kelaziman secara radikal.
11. Diskusi dengan SBY bisa amat akademik. Kadang-kadang saya merasa seperti berbicara dengan seorang profesor, bukan dengan seorang Jenderal. Ada cerita menarik tentang ini.
Ini jauh setelah periode yang sedang kita bahas. Saya diwawancarai Prof Don Emmerson (2003) yang sedang menulis buku tentang ‘Identitas Indonesia’. Prof Emmerson baru mewawancari Wiranto dan SBY sebelum saya.
Saya tanya kesan-kesannya tentang kedua Jenderal itu. Wiranto, katanya, berpikir sebagai tentara. Tapi SBY, lanjutnya, lebih mirip profesor daripada seorang jenderal. Ia selalu berusaha bicara dengan basis-baris teori dan bahan erbandingan. Kadang jadi melelahkan.
Saya sendiri beruntung sempat menjalani era bersparing partner dengan SBY. Karena: Pertama saya terpicu memikirkan soal-soal besar negara-bangsa dengan beragam aspeknya. Kedua, saya terbantu mengenal sisi-dalam para perwira tentara untuk lebih tahu dinamika dalam tubuh tentara – persis seperti yang disarankan Peter Britton.
Peter Britton menulis tentang tentara Indoesia dengan membandingkan tipe ‘jagoan’ vs ‘ksatria’ para perwira tentara. Tentara dikenalinya dari sisi-dalam. Ketiga, saya jadi berkenalan dengan species khusus perwira tentara di ujung Orba terutama lewat SBY, almarhum Agus Wira dan Agus Wijoyo. Ketiganya mewakili ‘kehendak perubahan di dalam’. Ketiganya punya karakter berbeda dengan Agus Wira sebagai yang paling straight to the point, blak-blakan, tajam.
Keempat Dalam periode ini, saya juga mendapat kesempatan mengajar di Sesko AD. Ini pengalaman berharga sekaligus kesempatan memprovokasi para perwira untuk berubah. Saya juga tertantang:’Anak usia 20-an tahun’ mesti mengendalikan kelas yang diisi para perwira yang usianya jauh di atas saya. Ternyata mudah saja.
Kelima, pertemanan dengan SBY dalam era ini membuat saya punya akses ke tokoh-tokoh kunci tentara ketika krisis eknomi mulai menghentak Indonesia dan Reformasi dimulai. Ketika ayah saya wafat tahun 2001, pada tahlilan 40 hari SBY dan Bu Ani hadir. SBY memberikan sambutan dan bilang : Menjelang dan salam Reformasi saya banyak belajar dari Eep Saepullah Fattah.
Jujur saya akui, saya pun banyak belajar dari SBY. Bukankah salah satu inti hidup adalah kesediaan saling belajar dari dan dengan siapapun? Satu pelajaran penting saya catat, saya beruntung terbiasa bergaul dengan bacaan dan terbiasa menulis untuk publik sejak 1992. Ini membuat saya selalu siap berdiskusi.
Pelajaran lain, jika disampaikan dengan santun dan beradab, sekeras apapun kritik kita sampaikan, orang atau lembaga apapun akan cenderung menerimanya. Pelajaran lain, jangan pernah menjebak diri dalam hubungan pragmatis karena uang atau kepentingan sebab itu justru akan pendek hubungan itu dan melecehkan diri sendiri.
Akhirnya, menjadi kawan diskusi SBY adalah bagian penting dalam penggalan hidup saya. Ini juga mengantar saya pada era Reformasi yang hiruk-pikuk dan penuh tantangan. Saya akan segera lanjutkan dengan episode berikutnya tentang SBY di Era Reformasi – era yang penting dan genting. (24082010/Eep S Fatah)
