Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerita Kaca Buram Istana (6)


SELAMA SBY menjadi Danrem dan Pangdam, kami tidak pernah bertemu muka hanya sempat diskusi singkat via telpon beberapa kali. Diskusi lebih intens ketika SBY bertugas di Jakarta. Tapi, hubungan kami tak selalu intens. Kadang-kadang cukup lama kami tak bertmu dan berdksusi. Periode absen-diskusi ini, misalnya terjadi di seputar 27 Juli 2006. Setting di seputar diskusi kami adalah ’senjakalaning Orba’.

Dinamika politik masyarakat pasang naik, oposisi politik mulai mengeristal, legitimasi Orba dan Soeharto makin tegas dipertanyakan, unjuk rasa dan rusuh makin mengejala,dan banyak ‘azimat’ Orba makin ditentang. SBY seperti butuh sparing partner untuk memahami dan bersikap atas perkembangan itu. Dan entah mengapa ia memilih saya sebagai kawan diskusi . Terkadang kami ‘bermewah-mewah’: mendiskusikan satu buku yang baru terbit.

Pernah juga diskusi semacam ini terjadi ketika tanpa sengaja kami bersua di toko buku. Kami tak selalu sepaham. Yang saya amat hargai, kala itu SBY terbuka menerima pandangan-pandangan saya yang tak disetujuinya. Karena itu disksusi jadi menyenangkan Saya sendiri merasa beruntung punya kemitraan diskusi ini karena jadi tertantang untuk memikirkan hal besar yang jadi bahan-bahan pertanyaan SBY.

Usia saya kala itu belum genap, sedang gandrung berpikir (out of d box), tak sabar dengan Orba yang lelet berubah, dan percaya demokrasi adalah keharusan. Ada sebuah kejadian menarik. Suatu hari, saya lupa persisnya kapan, tapi ketika SBY Kasdam/Brigjen. Kami janjian untuk diskusi di satu tempat.

Tiba-tiba SBY dipanggil Panglima ABRI sehingga ia membatalkan pertemuan itu secara mendadak dengan berkali-kali minta maaf. Tentu saja saya maklum sepenuhnya. Hampir pukul sembilan malam tiba-tiba pintu rumah saya diketuk dan kebetulan saya yang membuka. SBY berdiri di depan pintu masih berpakaian lengkap.

Saya silakan masuk. Ternyata, SBY datang khusus untuk minta maaf karena membatalkan pertemuan mendadak tadi sore dan mengajak mendiskusikan sebentar sebuah permasalahan di rumah saya. Ditemani Kalam (usia 25 tahun), kami diskusi soal KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) yang belum lama dideklarasikan Mas Gunawan Mohamad dkk.

Saya tegaskan sikap saya: Komite semacam itu saat itu adalah kemestian sejarah. Percuma saja menolaknya sebab Indonesia ‘mengundang’nya, saya mendukungnya. Saya ingat, SBY bertanya: Bagamana meminimalkan ekses adanya lembaga semacam itu terhadap peningkatan instabilitas sebelum, selama dan sesudah Pemilu?

Jawaban saya: Instabilitas di seputar Pemilu adalah pohon yang sudah tumbuh yang akarnya jelas, yaitu kekeliruan-kekeliruan pemilu Orba, bukan KIPP. Yang menarik dari peristiwa diskusi malam hari di rumah ini adalah kerendahan hati SBY datang untuk minta maaf karena merasa bersalah membatalkan pertemuan.

Jujur saja, saya sangat mengapresiasi sikap seperti itu. Apalagi SBY saat itu adalah the rising star. Saya? Anak muda yang sedang belajar bersikap. Ada yang menduga, hubungan saya dengan SBY terplihara saat itu karena motif ekonomi: saya mendpatkan untung finansial.

Mereka salah besar. Uang tidak terlibat di sini justru karena tak ada ikatan finansial ini, saya jadi nyaman. SBY tahu prinsip saya: Jika mau kasih uang, undang saya bicara dan honori secara profesional. Kalau memberi uang di luar kerangka hubungan profesional sebagai undangan dan pembicara diskusi/seminar, pasti saya tolak — sekalipun saya tak punya uang saat itu. (24082010/Eep S Fatah)
Auto Europe Car Rental