Perjalanan ke Hongkong : Trik Jualan Pariwisata
MALAYSIA punya tagline Trully Asia, Thailand dengan Amazing Thailand, maka Indonesia memiliki Visit Indonesia Year. Agak aneh. Belakangan, ibukota berpromosi di televisi National Geography. Taglinenya, Enjoy Jakarta. Kalau Surabaya mau promosi, kira-kira apa nanti. Apa ya tetap Sparkling Surabaya?
Sejak 2003, kalau tidak salah, Hong Kong Tourism Board melansir ’Hong Kong - Live it, Love it”. Duta wisata negeri itu, Jackie Chan memainkan film khusus untuk kampanye global pariwisata Hongkong.
Film sengaja mengambil pendekatan emosional, ketika pengunjung (turis) berinteraksi dengan warga lokal, secara hangat dan ramah di berbagai tempat atraksi di Hongkong. Hangat dan ramah, ya saya juga mengalaminya. Itu berarti, kampanye pariwisata mendapat dukungan dari warga Hongkong. Ketika rombongan kami kebingungan mencari arah Ladies Market, Erni Susan Samingoen dari Cathay Pacific Surabaya, mendapat informasi yang jelas dari karyawan di New Town Plaza.
Di Hongkong, asal dapat berbahasa Inggris gampang menjalin percakapan orang. Apalagi, kalau bisa berbahasa Cantonese. Ini dialek bahasa Jawa-nya orang Hongkong. Kemudahan informasi juga bisa diperoleh dari brosur-brosur pariwisata atau papan petunjuk arah yang jelas. ”Nggak perlu takut kesasar di sini,” kata Willy Fung, pemandu kami selama Cathay Pacific dan Hong Kong Tourism Board Familliarization Trip (16-19 November 2009).
Selain hangat dan ramah, saya juga merasakan safety, aman, baik saat berjalan di trotoar, atau sewaktu berdesakan di kereta api (MTR). Pukul 10 malam, serasa seperti pukul 5 sore di Surabaya. Trotoar dipenuhi orang, jalan kaki, amat padat. Toko-toko dan rumah makan belum masih buka.
Keluar dari kereta, orang-orang bergegas dengan cepat. Saya nyaris tidak mampu mengikuti irama langkah orang-orang Hongkong ini. Napas ngos-ngosan. Memang, sesudah sehari berjalan dari trotoar ke trotoar, akhirnya terbiasa juga. Baru ketika pulang ke Surabaya, saya khusus memanggil tukang pijat.
Stasiun Sha Tin yang akan menjadi titik keberangkatan kami masih ramai mengangkut penumpang. Sebagian besar penumpang kereta api (MTR), yang saya lihat, adalah anak-anak muda dan karyawan kantoran. Sambil menunggu stasiun yang dituju, mereka tak takut mengeluarkan ponsel atau ipod. Hanya saja, tak ada yang terlihat mengobrol dengan orang di dekatnya.
Suhu malam itu, amat dingin. Kurang lebih 19 derajat Celcius. Angin bertiup kencang. Saya sengaja tidak mengenakan jaket. Ya, memang dingin sekali. Efek operasi tangan kanan saya beberapa waktu lalu, menular ke jari jemari. Kaku. Meski demikian, ada juga warga Hongkong yang tak berbaju tebal. Satu dua perempuan muda malah hanya memakai rok mini atau hot pants.
”Pasti di dalamnya, ada heater-nya,” seloroh teman media. Kami tergelak, dan membayangkan yang tidak-tidak. Dalam hati, saya berpikir, berani sekali mereka berpakaian seperti itu.
Saya lalu teringat turnamen tenis Wismilak Open di Embong Sawo. Sekarang namanya, Wismilak International, dan masuk kalender WTA Tour sebagai turnamen tier IV. Sebelum diselenggarakan di Nusa Dua Bali, selama dua tahun (1999 dan 2000) dimainkan di Kuala Lumpur. Faktornya adalah keamanan dalam negeri Indonesia yang tak jelas.
Padahal, hari sudah malam dan mereka berjalan sendirian di trotoar atau lorong-lorong gedung. Mungkin jawabannya, safety tadi. Rasa aman membuahkan banyak hal. Orang akan senang datang dan tinggal, tidak waswas selalu. Sering ada olok-olok, Indonesia seharusnya bukan menggunakan tagline Visit Indonesia Year, tapi ’Uncertainity Country” atau ’Be Worry Jakarta’ bukan ’Enjoy Jakarta”.
Ketika Wismilak Open bergeser ke Bali, pemerintah setempat mencoba mengemasnya menjadi bagian dari kampanye safety Bali. Kalau petenis-petenis terkenal dunia seperti Lindsay Davenport, Svetlana Kuznetsova, Arantxa Sanchez Vicario, Anastasia Myskina datang ke Bali, itu sudah promosi luar biasa.
Orang akan tergerak, kenapa saya tidak ke Bali, mereka yang petenis dunia saja berani? Kalau sudah begini, maka perekonomian Bali jelas bergerak. Saya tak tahu persis, kenapa Surabaya melepas Wismilak Open. Padahal, pabriknya saja ada di Surabaya.
Ikon wisata yang seperti ini sekarang banyak dibangun. Saya kira, insan pariwisata dapat belajar dari paket nonton GP atau F1 di Sepang, Malaysia setiap tahun. Jujur saja, paket ini sangat laku di Indonesia, termasuk Surabaya. Jangan lupa, yang terakhir adalah F1 di Singapura, yang diadakan pada malam hari.
Hong Kong Tourism Board mengemas ikon-ikon wisata yang didukung hotelier (pelaku bisnis penginapan). Maklum, pariwisata termasuk tonggak utama perekonomian. Kunjungan wisatawan meningkat sejak 2004, rata-rata 10 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari China Daratan, lalu Taiwan, Indonesia dan yang terbaru, dari India.
Pada periode 29 September s/d 6 Oktober 2009, ada 590.882 wisatawan dari China Daratan, atau naik 15,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Agen-agen perjalanan panen dolar. Liburan Idul Fitri pada September 2009 memicu kenaikan jumlah pengunjung dari Asia Tenggara. Dari Indonesia ada 63.685, Singapura 48.944, sedangkan India 33.943 orang.
“Kami ada paket khusus, Cathay dengan Regal Airport Hotel. Harga khusus ini, tentu untuk yang stay (menginap),” terang Erni Susan Samingoen, Assistant Manager Passenger Sales Cathay Pacific Surabaya.
Regal Airport Hotel adalah salah satu properti milik Sun Hung Kai, salah satu developer ternama dan terbesar di Hongkong. Sahamnya banyak diburu di bursa Hanseng. Hotel ini terletak sangat dekat dengan Hongkong International Airport, bahkan ada jalan dari lobi yang terhubung ke pintu masuk bandara.
Karen Ching, Manager Communication Manager Regal Airport Hotel menuturkan, hotelnya memberlakukan fasilitas check-in yang fleksibel. Artinya, jika check-in pukul 4 sore, maka check-out bisa dilakukan pukul 4 sore, hari berikutnya. Ini tentu berbeda dengan hotel lainnya, yang biasanya memberlakukan hitungan check-in dan check-out pada tengah hari. Kapan ada hotel di Indonesia, atau di Jawa Timur, atau di Batu, Tretes, Trawas, seperti ini? (*)
Sejak 2003, kalau tidak salah, Hong Kong Tourism Board melansir ’Hong Kong - Live it, Love it”. Duta wisata negeri itu, Jackie Chan memainkan film khusus untuk kampanye global pariwisata Hongkong.
Film sengaja mengambil pendekatan emosional, ketika pengunjung (turis) berinteraksi dengan warga lokal, secara hangat dan ramah di berbagai tempat atraksi di Hongkong. Hangat dan ramah, ya saya juga mengalaminya. Itu berarti, kampanye pariwisata mendapat dukungan dari warga Hongkong. Ketika rombongan kami kebingungan mencari arah Ladies Market, Erni Susan Samingoen dari Cathay Pacific Surabaya, mendapat informasi yang jelas dari karyawan di New Town Plaza.
Di Hongkong, asal dapat berbahasa Inggris gampang menjalin percakapan orang. Apalagi, kalau bisa berbahasa Cantonese. Ini dialek bahasa Jawa-nya orang Hongkong. Kemudahan informasi juga bisa diperoleh dari brosur-brosur pariwisata atau papan petunjuk arah yang jelas. ”Nggak perlu takut kesasar di sini,” kata Willy Fung, pemandu kami selama Cathay Pacific dan Hong Kong Tourism Board Familliarization Trip (16-19 November 2009).
Selain hangat dan ramah, saya juga merasakan safety, aman, baik saat berjalan di trotoar, atau sewaktu berdesakan di kereta api (MTR). Pukul 10 malam, serasa seperti pukul 5 sore di Surabaya. Trotoar dipenuhi orang, jalan kaki, amat padat. Toko-toko dan rumah makan belum masih buka.
Keluar dari kereta, orang-orang bergegas dengan cepat. Saya nyaris tidak mampu mengikuti irama langkah orang-orang Hongkong ini. Napas ngos-ngosan. Memang, sesudah sehari berjalan dari trotoar ke trotoar, akhirnya terbiasa juga. Baru ketika pulang ke Surabaya, saya khusus memanggil tukang pijat.
Stasiun Sha Tin yang akan menjadi titik keberangkatan kami masih ramai mengangkut penumpang. Sebagian besar penumpang kereta api (MTR), yang saya lihat, adalah anak-anak muda dan karyawan kantoran. Sambil menunggu stasiun yang dituju, mereka tak takut mengeluarkan ponsel atau ipod. Hanya saja, tak ada yang terlihat mengobrol dengan orang di dekatnya.
Suhu malam itu, amat dingin. Kurang lebih 19 derajat Celcius. Angin bertiup kencang. Saya sengaja tidak mengenakan jaket. Ya, memang dingin sekali. Efek operasi tangan kanan saya beberapa waktu lalu, menular ke jari jemari. Kaku. Meski demikian, ada juga warga Hongkong yang tak berbaju tebal. Satu dua perempuan muda malah hanya memakai rok mini atau hot pants.
”Pasti di dalamnya, ada heater-nya,” seloroh teman media. Kami tergelak, dan membayangkan yang tidak-tidak. Dalam hati, saya berpikir, berani sekali mereka berpakaian seperti itu.
Saya lalu teringat turnamen tenis Wismilak Open di Embong Sawo. Sekarang namanya, Wismilak International, dan masuk kalender WTA Tour sebagai turnamen tier IV. Sebelum diselenggarakan di Nusa Dua Bali, selama dua tahun (1999 dan 2000) dimainkan di Kuala Lumpur. Faktornya adalah keamanan dalam negeri Indonesia yang tak jelas.
Padahal, hari sudah malam dan mereka berjalan sendirian di trotoar atau lorong-lorong gedung. Mungkin jawabannya, safety tadi. Rasa aman membuahkan banyak hal. Orang akan senang datang dan tinggal, tidak waswas selalu. Sering ada olok-olok, Indonesia seharusnya bukan menggunakan tagline Visit Indonesia Year, tapi ’Uncertainity Country” atau ’Be Worry Jakarta’ bukan ’Enjoy Jakarta”.
Ketika Wismilak Open bergeser ke Bali, pemerintah setempat mencoba mengemasnya menjadi bagian dari kampanye safety Bali. Kalau petenis-petenis terkenal dunia seperti Lindsay Davenport, Svetlana Kuznetsova, Arantxa Sanchez Vicario, Anastasia Myskina datang ke Bali, itu sudah promosi luar biasa.
Orang akan tergerak, kenapa saya tidak ke Bali, mereka yang petenis dunia saja berani? Kalau sudah begini, maka perekonomian Bali jelas bergerak. Saya tak tahu persis, kenapa Surabaya melepas Wismilak Open. Padahal, pabriknya saja ada di Surabaya.
Ikon wisata yang seperti ini sekarang banyak dibangun. Saya kira, insan pariwisata dapat belajar dari paket nonton GP atau F1 di Sepang, Malaysia setiap tahun. Jujur saja, paket ini sangat laku di Indonesia, termasuk Surabaya. Jangan lupa, yang terakhir adalah F1 di Singapura, yang diadakan pada malam hari.
Hong Kong Tourism Board mengemas ikon-ikon wisata yang didukung hotelier (pelaku bisnis penginapan). Maklum, pariwisata termasuk tonggak utama perekonomian. Kunjungan wisatawan meningkat sejak 2004, rata-rata 10 persen setiap tahunnya. Sebagian besar dari China Daratan, lalu Taiwan, Indonesia dan yang terbaru, dari India.
Pada periode 29 September s/d 6 Oktober 2009, ada 590.882 wisatawan dari China Daratan, atau naik 15,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Agen-agen perjalanan panen dolar. Liburan Idul Fitri pada September 2009 memicu kenaikan jumlah pengunjung dari Asia Tenggara. Dari Indonesia ada 63.685, Singapura 48.944, sedangkan India 33.943 orang.
“Kami ada paket khusus, Cathay dengan Regal Airport Hotel. Harga khusus ini, tentu untuk yang stay (menginap),” terang Erni Susan Samingoen, Assistant Manager Passenger Sales Cathay Pacific Surabaya.
Regal Airport Hotel adalah salah satu properti milik Sun Hung Kai, salah satu developer ternama dan terbesar di Hongkong. Sahamnya banyak diburu di bursa Hanseng. Hotel ini terletak sangat dekat dengan Hongkong International Airport, bahkan ada jalan dari lobi yang terhubung ke pintu masuk bandara.
Karen Ching, Manager Communication Manager Regal Airport Hotel menuturkan, hotelnya memberlakukan fasilitas check-in yang fleksibel. Artinya, jika check-in pukul 4 sore, maka check-out bisa dilakukan pukul 4 sore, hari berikutnya. Ini tentu berbeda dengan hotel lainnya, yang biasanya memberlakukan hitungan check-in dan check-out pada tengah hari. Kapan ada hotel di Indonesia, atau di Jawa Timur, atau di Batu, Tretes, Trawas, seperti ini? (*)
