Perjalanan ke Hongkong : Makan di Luar, Sudah Biasa
KARENA rata-rata warga Hongkong jarang masak di rumah, mereka bisa menghabiskan banyak uang untuk sekadar makan dan minum. Makan malam di restoran kelas menengah, satu orang bisa 500 sampai 800 dolar Hongkong. Daging kalengan atau makanan dalam kaleng serta buah dan sayur segar amat mahal.
Itulah yang saya tangkap, saat kami, beberapa wartawan yang ikut dalam Cathay Pacific dan Hong Kong Tourism Board Familliarization Trip (16-19 November 2009). Demikian juga dengan air, terutama air dalam kemasan botol atau yang impor dari Swiss dan sejumlah negara Eropa lain, seperti yang saya sebut di atas.
Hongkong juga pengimpor minuman anggur, bir, teh dan kopi. Kalau mau yang agak murah, silakan cari yang produksi China Daratan untuk gandum, atau daging dari Australia atau buah dan sayur dari Thailand dan Filipina. “Hongkong tak punya sumber daya alam. Semuanya impor, dari air minum sampai buah. Tapi, cari apa saja di sini ada,” tutur Willy Fung.
Sewaktu kami makan malam di Jashan Celebrating Indian Cuisine, 1st Floor Amber Lodge, 23 Hollywood Road, Central, salah satu alas makanan yang digunakan adalah dari daun pisang. Bisa jadi dari Indonesia atau Vietnam.
Namun untuk belanja barang, Hongkonglah tempatnya. Penggemar parfum Gucci atau Lancombe, harganya bisa lebih murah 30 persen dibandingkan dengan Jakarta. Bersama teman-teman media dari Surabaya, saya sempatkan berbelanja kaus dan pernik di Ladies Market, di kawasan Mong Kok. Inilah pasar tradisional di Hongkong yang buka hingga tengah malam.
Semula, dalam bayangan saya, Ladies Market adalah tempat penjualan gadis-gadis, atau penjualnya kebanyakan perempuan. Tak tahunya, maksudnya, di sini banyak dijual barang kebutuhan wanita seperti dompet dan tas. Seperti di Pasar Atum Surabaya atau Pasar Beringharjo Jogjakarta, barangnya boleh ditawar.
Untuk kaus dengan bahan biasa 100 dolar Hongkong dapat lima buah. Kalau yang sedikit bagus, tambahlah 60 dolar Hongkong untuk jumlah yang sama. Gantungan, yang kebetulan banyak diborong teman-teman, satu set isi enam buah, harganya 45 dolar Hongkong. ”Di sini, kita harus berani nawar, minimal separo dari harga yang ditawarkan,” ujar Kuntoro, teman dari beritajatim.com.
Malam itu, kami berburu barang-barang murah, yang bisa kami beli buat oleh-oleh teman-teman di rumah dan di kantor. Yang paling utama, adalah jaket dan penutup kepala, karena Hongkong, untuk kali pertama dalam 20 tahun, sudah memasuki musim dingin. Padahal, musim dingin biasanya jatuh pada bulang Desember atau menjelang Natal.
Untuk menuju Ladies Market, kami dari Sha Tin, tempat kami menginap, harus naik kereta yang disebut Mass Transit Railway (MTR) ke arah Hung Hom. Harga tiketnya 8 dolar Hongkong. Kami cukup memencet stasiun tujuan, lalu memasukkan uang, dan keluarlah tiket kereta dalam bentuk kartu plastik warna cokelat. Kartu ini berguna untuk masuk ke dalam stasiun dan keluar dari stasiun.
Pemerintah Hongkong mengeluarkan tiket abonemen yang disebut dengan kartu Octopussy. Kalau tidak salah, untuk memilikinya cukup membayar 500 dolar Hongkong. Dengan kartu ini, pemiliknya tinggal menyentuhkan kartu ke sensor yang ada pintu masuk stasiun. Saya melihat banyak calon penumpang kereta mengeluarkan dompet dan menempelkan dompet itu di pintu masuk.
Kartu Octopussy juga bisa untuk membeli makanan dan minuman. Ada yang harganya 4 dolar Hongkong, 6 dolar Hongkong atau 12 dolar Hongkong. Saya melihat seorang perempuan menempelkan kartu Octopussy di boks makanan dan minuman di kapal feri yang membawa saya dan rombongan ke Pulau Cheung Chau. Tempel dan keluarlah makanan yang dimaksud. (*)
Itulah yang saya tangkap, saat kami, beberapa wartawan yang ikut dalam Cathay Pacific dan Hong Kong Tourism Board Familliarization Trip (16-19 November 2009). Demikian juga dengan air, terutama air dalam kemasan botol atau yang impor dari Swiss dan sejumlah negara Eropa lain, seperti yang saya sebut di atas.
Hongkong juga pengimpor minuman anggur, bir, teh dan kopi. Kalau mau yang agak murah, silakan cari yang produksi China Daratan untuk gandum, atau daging dari Australia atau buah dan sayur dari Thailand dan Filipina. “Hongkong tak punya sumber daya alam. Semuanya impor, dari air minum sampai buah. Tapi, cari apa saja di sini ada,” tutur Willy Fung.
Sewaktu kami makan malam di Jashan Celebrating Indian Cuisine, 1st Floor Amber Lodge, 23 Hollywood Road, Central, salah satu alas makanan yang digunakan adalah dari daun pisang. Bisa jadi dari Indonesia atau Vietnam.
Namun untuk belanja barang, Hongkonglah tempatnya. Penggemar parfum Gucci atau Lancombe, harganya bisa lebih murah 30 persen dibandingkan dengan Jakarta. Bersama teman-teman media dari Surabaya, saya sempatkan berbelanja kaus dan pernik di Ladies Market, di kawasan Mong Kok. Inilah pasar tradisional di Hongkong yang buka hingga tengah malam.
Semula, dalam bayangan saya, Ladies Market adalah tempat penjualan gadis-gadis, atau penjualnya kebanyakan perempuan. Tak tahunya, maksudnya, di sini banyak dijual barang kebutuhan wanita seperti dompet dan tas. Seperti di Pasar Atum Surabaya atau Pasar Beringharjo Jogjakarta, barangnya boleh ditawar.
Untuk kaus dengan bahan biasa 100 dolar Hongkong dapat lima buah. Kalau yang sedikit bagus, tambahlah 60 dolar Hongkong untuk jumlah yang sama. Gantungan, yang kebetulan banyak diborong teman-teman, satu set isi enam buah, harganya 45 dolar Hongkong. ”Di sini, kita harus berani nawar, minimal separo dari harga yang ditawarkan,” ujar Kuntoro, teman dari beritajatim.com.
Malam itu, kami berburu barang-barang murah, yang bisa kami beli buat oleh-oleh teman-teman di rumah dan di kantor. Yang paling utama, adalah jaket dan penutup kepala, karena Hongkong, untuk kali pertama dalam 20 tahun, sudah memasuki musim dingin. Padahal, musim dingin biasanya jatuh pada bulang Desember atau menjelang Natal.
Untuk menuju Ladies Market, kami dari Sha Tin, tempat kami menginap, harus naik kereta yang disebut Mass Transit Railway (MTR) ke arah Hung Hom. Harga tiketnya 8 dolar Hongkong. Kami cukup memencet stasiun tujuan, lalu memasukkan uang, dan keluarlah tiket kereta dalam bentuk kartu plastik warna cokelat. Kartu ini berguna untuk masuk ke dalam stasiun dan keluar dari stasiun.
Pemerintah Hongkong mengeluarkan tiket abonemen yang disebut dengan kartu Octopussy. Kalau tidak salah, untuk memilikinya cukup membayar 500 dolar Hongkong. Dengan kartu ini, pemiliknya tinggal menyentuhkan kartu ke sensor yang ada pintu masuk stasiun. Saya melihat banyak calon penumpang kereta mengeluarkan dompet dan menempelkan dompet itu di pintu masuk.
Kartu Octopussy juga bisa untuk membeli makanan dan minuman. Ada yang harganya 4 dolar Hongkong, 6 dolar Hongkong atau 12 dolar Hongkong. Saya melihat seorang perempuan menempelkan kartu Octopussy di boks makanan dan minuman di kapal feri yang membawa saya dan rombongan ke Pulau Cheung Chau. Tempel dan keluarlah makanan yang dimaksud. (*)
