Perjalanan ke Hongkong : Kalau Lihat Harga, Jangan Ke Sini
KRESENTIA Marisa dari majalah herworld berbisik di telinga saya. ”Biaya hidup di Hongkong mahal Mas. Kalau tidak salah, Hongkong itu peringkat lima di dunia,” katanya. Marisa adalah salah satu jurnalis Jakarta yang ikut dalam Cathay Pacific dan Hong Kong Tourism Board Familliarization Trip (16-19 November 2009).
Karena penasaran, sambil menunggu keberangkatan pesawat di lounge Cathay di Hong Kong International Airport, yang disebut Wing, saya sempatkan browsing internet. Menurut hasil survei Mercer, Juli 2009, dari 50 kota besar di dunia, cost living (biaya hidup) di Hongkong (108,7) termasuk tertinggi nomor lima sesudah Tokyo (143,2), Osaka (119,2), Moskow (115,4), Genewa (109,2).
Lembaga survei Mercer bahkan berani mengatakan, biaya hidup di Hong Kong 50 persen lebih tinggi dibandingkan Thailand dan 20 persen lebih mahal dibandingkan biaya hidup di Singapura dan Guang Zhou, China.
Istri saya marah-marah saat membeli popcorn atau brondong sebelum nonton bioskop. Harganya waktu itu kurang lebih Rp 8.500 per biji. Di Ocean Park, Mbak Ida Sylviana dari Cathay Pacific Jakarta, membelikan kami popcorn manis, yang harganya 12 dolar Hongkong per biji. Ya, ada selisih lebih mahal, Rp 6.000-an.
”Sudahlah, makan saja, tidak perlu lihat rupiahnya,” begitu nasihat Willy Fung, pemandu kami selama di Hongkong. ”Kalau lihat harga, malah nggak jadi makan nanti.”
Boleh jadi, nasihat ini betul. Hongkong dikenal sebagai surga makan dan belanja. Makanannya terkenal enak. Banyak macamnya. Beberapa di antaranya cocok dengan lidah orang Indonesia, termasuk lidah Jawa saya. Waktu kehausan dan ingin makan terus karena udara yang dingin, kurang lebih 15 derajat Celcius, kadang 19 derajat Celcius, saya tidak jadi mengambil minuman di mini bar kamar hotel.
Air mineral kemasan satu liter harganya 28 dolar Hongkong, yang ukuran 600 ml harganya 20 dolar Hongkong. Ada Coca Cola atau Seven Up, tapi harganya 20 dolar Hongkong. Andai saja, harga di hotel ini saya asumsikan tiga kali harga di kaki lima, itu berarti, Coca Cola dijual eceran 6 dolar Hongkong atau Rp 7.200.
“A bottle of 500 ml water costs about six dollar Hong Kong, in average. Is it expensive?,” tanya balik Amy Lam, Manager Public Relations Hong Kong Tourism Board kepada saya.
Senyum, itulah jawaban saya, meski dalam hati saya bilang, ya tetap mahal dibandingkan dengan di Surabaya. Nyaris semua air dan bahan makanan di Hongkong diimpor, baik dari China Daratan dan negara lain. Untuk kebutuhan air minum, Hongkong membuat menampung air hujan dan 70-80 persen lainnya impor dari Dongjiang, Guangdong (China Daratan).
Sedangkan khusus untuk membersihkan toilet, warga Hongkong menggunakan air laut. Pantas saja, toilet di hotel yang saya tempati, warna airnya biru. (*)

